“What’s in a name? That which we call a rose, by any other name would smell as sweet.”
Begitu kata William Shakespeare dalam mahakaryanya Romeo and Juliet. Indah memang, romantis pula. Tapi, kata Al Ries dan Jack Trout dalam Positioning: The Battle for Your Mind, pendapat Shakespeare ini agak keliru kalau kita bicara soal persepsi manusia.
Kalau bunga mawar diberi nama lain, orang mungkin tak akan merasakan “mawar” yang sama. Sebab, dalam kepala kita, kata “mawar” sudah menyimpan bayangan dan aroma tertentu. Nama bukan sekadar label, tapi pintu pertama yang kita buka untuk orang lain.
Kalau pintu itu terasa hangat, ramah, dan akrab, orang akan masuk. Kalau asing atau penuh simbol yang jauh dari identitas mereka, pintu itu bisa saja tetap tertutup.
Ambil contoh di Tentena, Sulawesi Tengah, yang mayoritas penduduknya Kristen. Memberi nama usaha, misalnya, dengan Al Qiyamah, Al Amin, atau Ar Rahman memang tak salah. Artinya baik, bahkan mulia. Tapi, secara psikologis, mungkin terasa kurang “nyambung” di hati calon pelanggan. Begitu juga sebaliknya: di daerah mayoritas Muslim, memberi nama El Shaddai, Bukit Golgota, atau Perjamuan Kudus akan menimbulkan jarak yang sama.
Bukan soal orang menolak kebaikan yang ada dalam nama itu. Ini soal simbol. Dan simbol memengaruhi rasa aman dan nyaman.
Memilih nama untuk sesuatu itu sebenarnya latihan empati. Kita diajak keluar dari ego, lalu berjalan di jalan yang orang lain lalui setiap hari. Kalau kita bisa merasakan apa yang mereka rasakan, kita akan lebih mudah menemukan nama yang bukan cuma indah di telinga kita, tapi juga hangat di telinga mereka.
Shakespeare bilang esensi lebih penting dari label. Benar. Tapi di dunia bisnis, salah satu misal, label adalah pintu menuju esensi itu. Dan kita perlu memastikan pintu itu terbuka lebar.
Nama yang baik bukan sekadar manis terdengar. Ia membuat orang merasa diakui, dihargai, dan diterima. Ia seperti air bening, menyesuaikan diri dengan wadah, memberi kehidupan tanpa memaksa bentuk.
Kita bebas memberi nama apa saja. Tapi bijak memilih nama adalah hadiah bagi orang lain. Dan hadiah itu sering kembali pada kita, dalam bentuk loyalitas, dukungan penuh, cinta, kasih sayang dan hubungan yang panjang usianya.
Jadi, kalau memilih nama, jangan cuma tanya: “Apa yang indah menurut saya?” Tapi juga: “Apa yang membuat mereka merasa dekat?” Karena kalau hati sudah terbuka, apapun yang kita tawarkan akan diterima dengan lapang. ***