Buya Sabe/Kami To Kaili/Buya Pontanu/randa di Tavaeli/ Natolelemo tona nombasani/buya pontanu /randa di wani/ane komiu mosumomba/kana rakeni buya bomba/maumo komiu ri ngata ntona/kana kami ratora-tora/
Itu adalah lagu Buya Sabe gubahan mendiang komponis, penggubah lagu dan koreografer Hasan Bahasyuan (1930 – 1987).
Lagunya ini menjadi serupa prasasti yang mengabadikan kejayaan Tenun Donggala kala itu. Buya Sabe secara harafiah berarti Sarung Sutra. Itu nama umum buat Sarung Tenun Donggala. Ada pula mengenalnya sebagai Buya Bomba. Ia menyebut Wani di Tavaeli dalam lagunya itu. Tempo itu daerah ini memang menjadi salah satu sentra produksi sarung tenun tradisional itu, selain Donggala.
Menenun Sarung Donggala bukan cuma urusan ekonomi belaka, ia juga memelihara tradisi dan menjaga warisan budaya. Kala itu, Buya Sabe hanya dipakai di saat gelaran ritual adat. Tak sembarang orang bisa memakainya. Ia dipakai Para Maradika atau Madika, bangsawan Kaili di masa itu.
Selain dipakai langsung, sarung tenun ini juga menjadi seserahan saat melamar anak gadis dari orang tuanya. Salah satu jenis Buya Sabe atau Bomba yang tinggi nilainya adalah Buya Subi. Ini adalah sarung tenun sutra dengan tambahan benang emas.
Mendiang Ma’ani, nenenda saya yang berayah lelaki Bugis asal Bone dan beribu perempuan asal Parigi di masa kecil saya punya banyak koleksi sarung tenun ini. Sarungnya itu keluar dari almari saat upacara perkawinan atau ritual adat lainnya. Banyak corak dan motifnya dengan beragam warna pula. Saya mengingat ia paling menyukai sarung berwarna hijau dan merah muda. Motifnya berbetuk Bunga Mawar.
Adapula yang dikenal sebagai Palaekat, ini kombinasi Buya Subi dan Buya Bomba. Dibuat dari benang sutra dan ada pula yang memakai benang katun. Umumnya Bomba bermotif bunga. Komposisinya geometrik. Komposisi motifnya disusun secara diagonal.
Di Donggala, sentra kerajinannya dapat kita temui di desa Salubomba, Towale, Watusampu, Tosale, Kolakola, Limboro, Kabonga Kecil dan Loli.
Di masa kejayaannya, beragam varian sarung tenun ini menjadi souvenir wajib buat para tamu yang datang ke daerah ini. Tak lengkap rasanya ke Sulawesi Tengah bila tak membawa ole-ole sarung ini saat kembali. Tak lengkap pula busana perempuan bila tak menyertakan sarung tenun Donggala dalam setelannya.
Sayangnya, ketiadaan bahan baku, juga sebab memudarnya semangat para penenun lantaran adanya alat tenun mesin yang lebih cepat proses produksinya, membuat Buya Sabe mulai tergerus. Ditambah lagi para remaja perempuan tak lagi tertarik mempelajari tenun tradisional ini.
Pengerjaannya yang sulit dan lama, membuat harganya juga tinggi. Kisarannya dari Rp500 ribu hingga jutaan rupiah sehelai. Itu pula yang membuat produksinya makin terbatas.
Nah, dengan niatan mengembalikan kejayaan tenun tradisional ini, Imam Basuki, Ketua Asosiasi Tenun Sarung Sutra Sulawesi Tengah dengan kelompoknya hendak membuat Kampung Tenun di Towale, Donggala. Mereka akan mendapat bantuan fisik dari Bank Indonesia berupa 5 Sou Pontanu atau Rumah Tenun dan 1 butik atau show room. Selain itu, Bank Indonesia menjanjikan pula mereka akan menata Kampung Tenun yang diharapkan menjadi sentra dan titik kebangkitan kembali kejayaan Sarung Tenun Donggala.
Mereka memilih Towale bukan tanpa alasan. Menurut Imam, di sana tidak kurang 100 penenun tradisional masih bersemangat melanjutkan tradisi tenun ini.
“Bila program ini berhasil, bukan tidak mungkin kita akan membuka Kampung Tenun lain di bekas-bekas sentra produksi Buya Sabe,” hemat Imam.
Untuk diketahui, Pada 2017 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI menetapkan Buya Sabe sebagai warisan budaya tak benda. Ada 33 tradisi serupa yang ditetapkan, antara lain tenun batik, ulos batak dari Toba, Samosir, Songket dari Palembang, kain kulit kayu dari Kalimantan dan sulawesi Tengah, Tenun Siak dari Riau, dan juga Karawo dari Gorontalo.
Sarung Tenun Donggala memang istimewa. Pada 2017 Presenter kondang Desi Anwar yang mengampu program talk show bertajuk Insight with Desi Anwar di CNN Indonesia datang berkunjung ke Palu. Ia bertemu dengan sejumlah pengurus Asosiasi Tenun Donggala, Syuaib Djafar dan Imam Basuki dan Kadis Perindustrian dan Perdagangan Sulteng saat itu.
Ia mengunjungi Pusat Pelatihan Sarung Tenun Donggala di Jalan Kedondong, Palu Barat. Ia kagum melihat proses produksi sarung tenun Donggala. Kepadanya pun dihadiahkan beberapa helai sarung Donggala. Ia memilih sarung berwarna kuning, hijau dan ungu.
Syuaib Djafar yang menyambut Desi Anwar, menyebutkan Buya Sabe atau Bomba punya makna mendalam bagi masyarakat Sulawesi Tengah.
“Ini melekat dengan tradisi suku asli di Sulawesi Tengah, yakni Suku Kaili. Sarung tenun ini hadir dalam busana resmi semua acara keadatan dan umum. Motifnya pun diinspirasi oleh alam lingkungan di mana suku ini berdiam, mulai dari motif bunga, hewan dan lain-lain,” papar mantan Kepala Dinas Pariwisata Sulteng ini.
Kembali ke Imam Basuki, ia menyatakan salah satu upaya menghidupkan penenun tradisional adalah dengan cara membeli produk-produk mereka.
“Perhatian dari Pemerintah berupa pelatihan-pelatihan agar para penenun menjadi lebih bagus design dan produksinya membantu upaya itu. Apalagi nanti akan ada Sou Pantanu di Towale,” sebut Imam.
Harapan Imam itu bila tak salah sudah pula menjadi program Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulawesi Tengah. Kerjasama dengan pihak perbankan dan swasta lainnya untuk mendukung pelatihan dan permodalan para penenun tradisional memang ada dalam mata program Dinas terkait itu.
Namun apakah itu sudah berjalan sebagaimana harapan Asosiasi Sarung Tenun Donggala? Saya kira Imam dan kawan-kawannya yang lebih tahu pasti.
Selebihnya, menyiasati pasokan bahan baku dan juga memperluas jaringan pemasaran akan menjadi pekerjaan berat Basuki dan kawan-kawannya di Asosiasi Tenun Donggala. Demi niatan untuk mengembalikan kejayaan sarung tenun Donggala. Buat Imam dan kawan-kawannya, menenun sarung donggala berarti juga memelihara tradisi dan menjaga warisan budaya. ***