Tentu, orang sudah mengenal kain tenun Songket dari Palembang atau Ulos dari Sumatera Utara. Lalu adapula Buya Sabe di Donggala, Sulawesi Tengah. Tapi jika menyebut Ivo atau Vuya, tentu saja orang akan bertanya-tanya. Ini salah satu produk yang ramah lingkungan. Apa itu gerangan? Berikut kisahnya dari Donggala, Sulawesi Tengah.

Tok…Tok…Tok…Bunyi berirama itu sudah terdengar dari jauh. Artinya Desa Pandere, Kecamatan Gumbasa, Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah sudah dekat. Di desa inilah tradisi Ivo atau Vuya itu berkembang. Vuya atau Ivo adalah kain berbahan dasar kulit kayu Bea (Bhroussonetia sp) dan Malo (Ficus sp).

Bunyi berirama tadi adalah hentakan bahan dasar kulit kayu yang ditempa dengan Ike, alat pemukul dari batu pualam yang diikat dengan rotan. Kulit kayu yang masih kasar itu, ditempa di atas Tatua, kayu setengah lingkaran atau papan keras.

Loh, apa iya ada kain dari kulit kayu? Ya, sejak ratusan tahun lalu masyarakat asli Sulawesi Tengah mempunyai tradisi unik ini. Tradisi ini terutama berkembang di sepanjang kawasan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) di Sigi, Donggala dan Poso,

Ada beragam nama yang diberikan pada kain kulit kayu ini. Di Pandere dan Kulawi, Sigi, Sulawesi Tengah, warga setempat menyebutnya Ivo dan Kumpe. Lalu di Bada, Donggala, warga menyebutnya Ranta. Lalu di Besoa, Donggala, warga menyebutnya Inodo. Namun, sebutan Vuya yang lebih populer.

Tradisi ini makin berkembang saat pendudukan Belanda dan Jepang. Marten Kungku, seorang tetua adat Kulawi mengatakan bahwa sampai 1951, ia masih menggunakan baju dan celana dari Vuya ketika bersekolah.

Vuya dapat dijadikan baju, celana, rok maupun ikat kepala atau siga. Sebelumnya juga digunakan sebagai kain kafan bagi para bangsawan dan tetua yang meninggal dunia.

Kini, tradisi ini, meski mulai tertatih-tatih bersaing dengan zaman, terus dilestarikan. Vuya kini berubah bentuk. Menjadi hiasan dinding, tas, pigura, sampul buku, juga cup lampu kamar.

Meski makin tergerus zaman, tentu saja Vuya masih dipakai menjadi perlengkapan upacara adat di sekitar Lembah Besoa, Bada dan Kulawi. Jika musim panen atau kedukaan, kita akan mudah menemukan orang tua dan gadis remaja memakai pakaian dari kulit kayu ini.

Ada beragam bentuk kain kulit kayu yang dipakai dalam upacara adat. Misalnya, Toradau (blus yang digunakan pada upacara adat penyambutan tamu terhormat). Lalu, Vuya (dipakai pada upacara penyembuhan penyakit/Balia). Ada pula Siga (digunakan sebagai destar pada semua upacara adat) dan Vini (rok yang digunakan pengantin wanita pada upacara pernikahan dan penyambutan tamu).

“Jika upacara adat, kami masih menggunakan semua perlengkapan busana dari kain kulit kayu itu. Ini adalah upaya melestarikan tradisi leluhur kami,” tutur JPH Taro, sesepuh adat Kulawi, dalam sebuah perbincangan 10 tahun lalu.

Perempuan Tua Pelestari Vuya
Nah, yang menarik, di Pandere, Donggala ada dua perempuan kakak beradik yang hingga kini setia melestarikan tradisi ini. Mereka adalah Rangimpuasa dan Sitilima yang saat saya temui pada 2011 lalu sudah berusia 70 tahun. Setelah itu saya belum sekalipun lagi bertemu mereka.

Di siang hari kala itu, ketika warga lain tengah mengaso, kedua nenek ini dengan sebilah parang di tangan beranjak dari rumahnya untuk mencari pohon kayu bahan pembuat kain. Pohon yang dipilih adalah sejenis beringin, waru atau pohon murbei kertas yang oleh penduduk setempat disebut malo. Usianya harus sudah dua tahun. Yang diambil dari pohon ini hanyalah batang airnya saja, kira-kira 5 centimeter garis tengahnya.

Karena sudah tidak kuat lagi memotong dahan yang tinggi, keduanya biasa ditemani cucu atau anak laki-lakinya. Setiap batang air yang diambil, dipotong sepanjang empat jengkal. Itulah yang kemudian diolah menjadi kain.

“Prosesnya dimulai dari Nosisi, atau menguliti kulit kayu tadi. Kemudian Notikuli, membersihkan kulit kayu yang sudah dikuliti. Kulit arinya dibersihkan. ” Begitu kata Sitilimamenjelaskan proses pembuatan Ivo atau Vuya ini.

Setelah itu, barulah kulit kayu tadi ditumbuk dengan Ike di atas Tatua. Proses ini dinamakan Nombaovo. Lamanya kira-kira tiga jam. Biasanya dikerjakan bersama-sama oleh lebih dari dua perempuan. Jika sudah agak halus, sekarang saatnya Nompa’ atau Nonohu. Kulit kayu yang sudah ditumbuk tadi diperam dengan cara dibungkus dengan daun Mengkudu agar menjadi licin dan mudah disambung. Lalu dibungkus dengan karung goni. Sebelumnya, kulit kayu itu dibilas hingga bersih dari kotoran yang menempel.

Setelah proses Nonohu yang biasanya memakan waktu 1 x 24 jam, barulah kulit kayu tadi ditumbuk lagi dengan Ike di atas Tatua sampai benar-benar halus. Proses ini dinamakan Nontutu. Di sini proses penyambungan lembaran-lembaran kulit kayu dilakukan. Sampai menjadi kain sesuai ukuran yang diinginkan.

Setelah proses Nontutu selesai ada satu tahapan lagi yakni Nompao. Kulit kayu yang sudah berubah ujud menjadi kain tadi disetrika dengan kayu. Supaya lebih halus lagi. Setelah itu barulah dikering anginkan.

Nah, jadilah selembar kain kulit kayu. Dalam seminggu, paling banyak dua lembar kain kulit kayu seukuran 1 x 2 meter yang dihasilkan per orang.

“Namun, karena sudah renta, paling banyak hanya empat lembar Ivo yang dihasilkan Nenek ini setiap bulannya,” tutur Asmidar (23), cucu kedua nenek ini, yang tekun mempelajari tradisi leluhurnya ini.

Oh iya, bahasa yang mereka gunakan menjelaskan proses pembuatan kain kulit kayu ini adalah bahasa ibu masyarakat setempat. Namanya Ado. Itu adalah rumpun bahasa suku Kaili, suku asli Sulawesi Tengah.

Lalu, soal Ike. Itu ada tingkatannya. Biasanya ada tiga. Ike dibuat dari batu pualam atau granit dengan ukuran 2 x 4 x 7 centimeter. Batu Ike diikat dengan anyaman rotan. Lalu dibuat beralur. Ike pertama alurnya lebih renggang untuk meratakan kulit kayu. Lalu Ike kedua alurnya mulai menyempit, untuk menghaluskan kain. Dan kemudian Ike ketiga yang alurnya lebih rapat dan beragam. Ada horisontal, vertikal dan diagonal. Ini untuk menghaluskan lagi dan membuat tekstur pada kain kulit kayu.

Mewariskan Tradisi
“Insya Allah, anak-anak saya bisa membuat kain kulit kayu ini,” harap Rangimpuasa saat itu. Karenanya, ia selalu menyertakan anak atau cucunya saat membuat kain kulit kayu. Usianya yang sudah uzur, tidak mengkhawatirkannya, karena sudah ada yang mewarisi tradisi ini.

“Saya belajar dari masih SMP. Sekarang Insya Allah sudah tahu, cuma kalau mencari kayunya minta tolong sama orang saja, karena kayunya sudah jauh dalam hutan,” kata Asmidar, cucu Rangimpuasa.

JPH Taro, juga berharap tradisi ini tetap lestari. “Sayang jika kekayaan budaya kita hilang ditelan zaman. Meski kita harus akui, kadang kita tidak mampu bertahan lagi, tapi itu tetap harus kita upayakan,” kata Taro kala itu.

Sesepuh adat Kulawi ini mengisahkan bahwa pada 1992, Azis Lamadjido, Gubernur Sulawesi Tengah ketika itu mempunyai cara unik mempertahankan tradisi ini. “Dia meminta orang membuat kain kulit kayu, lalu ditukarnya dengan kain belacu atau kain lainnya buat baju. Katanya itu agar tradisi ini tetap terpelihara. Namun setelah dia tidak menjabat, sudah tidak ada lagi pejabat yang begitu,” sebutnya.

“Dunia boleh makin modern, tapi tradisi, adat istiadat harus terus dilestarikan. Kalau bukan oleh kita, oleh siapa lagi,” tekan Taro.

Jadi, akankah tradisi ini dapat lestari? Kita harus menjawabnya dengan optimis. Meski tahu, industri tekstil kita kini sudah pada tahapan sintetik. Semuanya serba kimiawi. Meski tahu produk-produk kimiawi sulit terurai jika sudah menjadi sampah.

Sekarang tinggal kita pilih melestarikan produk ramah lingkungan itu atau terus membebani bumi dengan sampah-sampah kimiawi? Tentu saja kita akan memilih jalan yang paling bijak. ***

https://youtu.be/WWQjYRAQbNk
Klik dan Tonton juga