Gedung Juang berdiri tegak di depan Taman Nasional di Kota itu, seolah-olah mengawasi dunia dari masa lalu yang kelam. Bangunan tua dengan gaya kolonial itu tampak menyeramkan, terutama di malam hari ketika bayang-bayangnya memanjang dan kabut tipis menyelimuti sekitarnya. Cerita-cerita tentang dan suara-suara aneh sering terdengar di sana. Namun, bagi Adam, pemuda berusia dua puluh tujuh tahun, semua itu hanyalah dongeng belaka.

Adam, seorang jurnalis muda yang gemar menantang takhayul, memutuskan untuk membuktikan bahwa semua kisah seram tentang Gedung Juang itu tidak lebih dari sekadar . Dia tahu bahwa orang-orang di kota itu senang mempercayai hal-hal mistis, tapi dia percaya bahwa tak ada kebenaran di balik semua cerita itu. Dengan tekad yang kuat, Adam memutuskan untuk bermalam di tersebut.

Malam itu, bulan penuh menggantung rendah di langit, memancarkan cahaya keperakan yang menyinari jalan setapak menuju pintu depan Gedung Juang. Adam mengenakan jaket tebal untuk menahan dingin yang mulai merambat ke tulangnya. Dengan membawa senter dan kamera, ia melangkah masuk ke dalam gedung, membiarkan pintu kayu tua berderit di belakangnya.

Begitu masuk, Adam langsung merasakan perubahan suhu yang mendadak. Udara di dalam gedung terasa lebih dingin dan berat, dengan bau apek dari kayu lapuk yang menyeruak ke hidungnya. Lampu senter menari di dinding-dinding, menyoroti lukisan-lukisan tua yang hampir pudar dan furnitur antik yang tertutup debu. Sejenak, Adam merasa seperti melangkah ke masa lalu, ke zaman ketika gedung ini masih dipenuhi oleh kegiatan orang-orang Belanda yang tinggal di sini.

“Tidak ada yang perlu ditakutkan,” Adam berkata kepada dirinya sendiri, mencoba menghilangkan perasaan aneh yang mulai merayapi benaknya. Ia terus berjalan, menuju tangga besar yang mengarah ke lantai atas. Tangga itu terbuat dari kayu jati yang kuat, tapi setiap langkahnya memicu bunyi derit yang seakan-akan berbicara padanya.

Adam memilih sebuah kamar di sudut koridor. Kamar itu tampak lebih bersih dibanding yang lain, seolah-olah baru saja dibersihkan. Jendela besar menghadap langsung ke taman nasional, memberikan pemandangan yang menakjubkan dari pepohonan dan bukit yang terselimuti kabut. Adam merasa lega menemukan kamar yang nyaman ini; ia pun menyiapkan kamera dan mulai merekam ruangan, berharap menemukan sesuatu yang bisa menjadi bahan tulisannya.

Namun, tiba-tiba, ia mendengar suara langkah kaki halus dari belakang. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ia menoleh, dan di sana, berdiri seorang dengan gaun putih berenda yang panjang. Kulitnya pucat, rambut pirang tergerai lepas di punggungnya, dan matanya biru sejernih langit. Wajahnya cantik dan mempesona, tetapi ada sesuatu yang asing dan kuno pada penampilannya.

“Selamat malam,” perempuan itu menyapanya dengan suara lembut, hampir seperti bisikan angin malam. “Namaku Evelien.”

Adam tertegun, lidahnya kelu. Ia berusaha mencerna apa yang dilihatnya. “Bagaimana… bagaimana Anda bisa ada di sini?” tanyanya gagap.

Evelien tersenyum samar dan mendekat, melangkah ringan seolah-olah tidak menyentuh lantai. “Gedung ini adalah rumahku,” katanya. “Kau siapa?”

“Adam,” jawabnya singkat, masih belum sepenuhnya percaya dengan apa yang dilihatnya. “Aku datang untuk membuktikan bahwa semua cerita tentang gedung ini hanyalah mitos.”

Evelien mengangguk pelan. “Mungkin kau benar… atau mungkin kau salah. Mau minum?” tanyanya seraya menyodorkan cangkir kaca dengan cairan merah di dalamnya.

Adam menatap cangkir itu dengan ragu. Cairan merah itu tampak kental, hampir seperti darah. Namun, entah mengapa, ada sesuatu yang memikat dalam tatapan mata Evelien, membuat Adam merasa sulit menolak tawarannya. Ia menerima cangkir itu dan menyesap sedikit. Rasanya manis, tetapi ada kehangatan aneh yang merayap di tenggorokannya, membuat pikirannya menjadi kabur.

Waktu seolah berhenti. Adam merasa begitu tenang, lebih tenang dari yang pernah ia rasakan sebelumnya. Ia merasa berada di antara mimpi dan kenyataan. Evelien mengulurkan tangannya, mengajaknya keluar dari kamar, dan Adam menurut tanpa bertanya. Mereka berjalan menyusuri koridor, menuruni tangga, dan keluar ke taman.

Di luar, bulan masih bersinar terang, dan taman itu tampak lebih hidup daripada yang pernah ia lihat sebelumnya. Bunga-bunga bermekaran dengan warna-warna yang cerah, dan udara dipenuhi aroma segar yang menenangkan. Mereka berjalan bergandengan tangan, dan Adam merasa ada sesuatu yang mengikat dirinya pada Evelien, sesuatu yang kuat dan tidak terjelaskan.

Mereka terus berjalan menuju tangsi Belanda yang lama. Tangsi itu tampak berbeda dari yang pernah ia lihat; lebih terawat, dengan bangunan-bangunan yang masih kokoh dan tentara Belanda yang berjalan-jalan di sekitar. Evelien tertawa, suaranya nyaring seperti lonceng kecil, dan menarik Adam ke tengah keramaian.

“Ini rumahku, Adam. Tempat ini adalah bagian dari duniaku,” Evelien berkata dengan senyuman yang mempesona. “Aku ingin kau mengenalnya lebih dekat, ingin kau melihat apa yang telah hilang.”

Adam merasa senang di dekatnya. Segala ketakutan dan keraguannya hilang, digantikan oleh perasaan bahagia yang aneh dan tak terlukiskan. Mereka menghabiskan malam bersama, berbicara tentang banyak hal, berjalan-jalan di sepanjang sungai kecil yang mengalir di taman, dan bercanda dengan para tentara yang seolah-olah tidak memperhatikan kehadiran Adam.

Waktu terasa melayang. Adam merasa seperti sudah mengenal Evelien selama hidupnya, meskipun ia baru bertemu dengannya beberapa jam yang lalu. Ada perasaan cinta yang tumbuh di dalam hatinya, cinta yang dalam dan tidak terjelaskan. Ia merasa seolah-olah telah menemukan belahan jiwanya, seseorang yang telah ia cari selama ini.

Tetapi, tiba-tiba, dunia di sekelilingnya mulai berubah. Cahaya bulan menjadi lebih terang, terlalu terang hingga menyilaukan. Suara-suara di sekitar mulai memudar, digantikan oleh bunyi bip mesin yang berulang. Wajah Evelien memudar, dan ia merasa seperti ditarik keluar dari dunia yang indah ini.

Adam terbangun dengan napas terengah-engah. Ia berada di tempat yang sangat berbeda. Ruangannya putih bersih, dengan bau antiseptik yang menusuk hidung. Matanya mencoba fokus, dan ia melihat peralatan medis di sekitarnya, infus yang terpasang di lengannya. Ia berada di ICU sebuah rumah sakit.

Seorang perawat yang melihatnya sadar segera mendekat. “Anda sudah bangun,” kata perawat itu dengan nada lega. “Anda di rumah sakit sekarang. Anda pingsan di depan Gedung Juang beberapa hari yang lalu. Untung saja ada seseorang yang menemukannya dan segera membawa Anda ke sini.”

Adam merasa kebingungan. “Gedung Juang? Tapi… tapi aku bersama Evelien… aku… apa yang terjadi?” Ia mencoba mengingat apa yang telah terjadi, tetapi pikirannya dipenuhi dengan kabut.

“Siapa Evelien?” tanya perawat itu. “Anda ditemukan sendirian, dalam keadaan setengah sadar. Anda mengalami dehidrasi dan keracunan yang cukup parah. Mungkin Anda hanya berhalusinasi.”

“Tidak mungkin,” gumam Adam. “Aku… aku bersamanya. Dia memberiku anggur…”

Perawat itu menggelengkan kepala. “Tidak ada orang lain di sana. Hanya Anda. Mungkin apa yang Anda alami hanyalah efek dari kondisi Anda.”

Adam terdiam, merasa bingung dan cemas. Semua yang dia alami terasa begitu nyata, begitu hidup, tetapi sekarang, semuanya tampak seperti mimpi. Apakah Evelien hanya bagian dari khayalannya? Tapi, rasanya terlalu nyata untuk dianggap sekadar mimpi.

Beberapa hari kemudian, Adam diperbolehkan pulang. Ia masih memikirkan Evelien, bayangannya tidak pernah lepas dari pikirannya. Ada sesuatu yang membawanya kembali ke Gedung Juang, sesuatu yang belum tuntas, sesuatu yang harus ia selesaikan.

Dengan rasa ingin tahu yang masih membara, ia kembali ke gedung itu. Saat malam tiba, ia berdiri di depan pintu yang sama, merasakan hawa dingin yang sama. Tetapi kali ini, ia merasakan sesuatu yang berbeda—perasaan bahwa ia bukanlah satu-satunya yang hadir di sana.

Ia masuk kembali ke dalam kamar yang sama, berharap bisa menemukan jejak Evelien. Saat ia mengangkat pandangannya ke jendela, bayangan seorang perempuan muncul di kaca. “Evelien…” gumamnya pelan.

Tapi bayangan itu menghilang dengan cepat. Adam bergegas mendekat, berharap bisa melihatnya sekali lagi, namun bayangannya sudah lenyap. Di atas meja, ia menemukan sehelai kain putih dengan inisial “E.V.” terbordir rapi. Ada aroma anggur yang samar di udara, dan suara tawa perempuan mengalir pelan bersama angin malam.

Adam tersenyum tipis. “Aku akan kembali,” bisiknya pada bayangan di dalam cermin, “dan kali ini, aku akan menemukan kebenarannya.”

Langit semakin gelap, dan Gedung Juang kembali tenggelam dalam kesunyian, menyimpan misterinya untuk malam-malam berikutnya. ***