Mutasi, kata itu berasal dari bahasa Latin: mutatio, dari akar kata mutare , yang berarti berpindah, berubah, bergeser. Dalam Kekaisaran Romawi, mutatio bukan hanya soal pergantian pejabat atau kekuasaan. Ia adalah nama bagi stasiun perhentian: tempat kurir kekaisaran mengganti kuda dan melanjutkan perjalanan panjang membawa pesan imperium. Maka sejak awal, mutasi adalah peristiwa yang penuh beban: perubahan demi kesinambungan, bukan semata-mata pergantian.

Tapi seperti banyak hal lain dalam kekuasaan, apa yang lahir dari kebutuhan bisa bergeser menjadi kebiasaan. Bahkan menjadi syahwat kuasa. Dalam dunia militer kita hari ini, mutasi yang seharusnya alat kelola, perlahan menjelma jadi panggung. Kadang sunyi, kadang gaduh. Dan selalu menyisakan satu pertanyaan: siapa yang mengatur siapa? Siapa yang dekat siapa?

Dalam kisah-kisah yang lebih akrab dengan khalayak di Jawa, tak semua pergerakan ksatria ditentukan oleh medan perang. Kadang-kadang, pergeseran itu terjadi di dalam istana, lewat bisik-bisik para penasihat, atau lewat pandangan dingin para raja yang merasa tahu segalanya. Maka Sumantri pun suatu hari diturunkan dari medan laga, bukan karena ia kalah perang, tapi karena ia tak lagi dianggap cocok. Ia pergi dengan kepala tegak, tapi dalam diam, hatinya perih dan luka.

Saya teringat kisah itu ketika mendengar kabar Letjen Kunto Arief Wibowo dipindahkan dari jabatannya sebagai Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan I ke posisi Staf Khusus Kepala Staf Angkatan Darat. Sebuah jabatan yang terdengar formal, tapi sesungguhnya sunyi. Di dunia militer, tempat semua bergerak dalam garis komando dan hirarki yang rigid, pemindahan semacam itu lebih dari sekadar teknis. Itu soal martabat. Soal makna bintang di pundak.

Dan yang membuatnya terasa ganjil: keputusan itu kemudian dibatalkan. Tanpa penjelasan. Tanpa kalimat yang menjembatani mengapa, bagaimana, atau untuk apa. Seolah-olah kehormatan bisa direkat ulang dengan selembar memo baru. Adapun keterangan sesudahnya, dibaca tak ubahnya sebagai dalih.

Saya mencoba membayangkan perasaan seorang jenderal. Dan saya secara pribadi pernah berada di dekat seorang Jenderal TNI. Ia membangun karier puluhan tahun dalam barak dan di medan tempur yang berat. Ia memimpin anak-anak muda dalam disiplin yang nyaris tak kenal tanya. Tapi ia sendiri, dalam satu malam, bisa digeser, dan tak diberi alasan yang terang benderang.

Ada waktu ketika ketidakpastian itu hanya bisa ditanggapi dengan diam. Tapi diam, bila terlalu lama, bukan lagi keteguhan. Ia bisa berubah menjadi tanda bahwa sesuatu tak beres.

Dalam lima bulan pertama masa jabatannya saja, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto telah melakukan mutasi berkali-kali. Dalam catatan resmi, bila tak keliru, lebih dari sepuluh kali. Tapi angka, seperti yang kita tahu, tak bisa menjelaskan semuanya. Yang tak tercatat adalah berapa banyak perasaan yang terguncang, berapa banyak keluarga yang harus bersiap pindah kota, dan berapa banyak kepercayaan yang mulai pudar karena rotasi terasa seperti lotre. Meski memang sebagai Ksatria negara, mereka sudah menyiapkan mental untuk itu.

Barangkali, semua itu demi penataan. Demi konsolidasi. Tapi bila terlalu sering dan terlalu tiba-tiba, apa yang tersisa dari rasa stabil? Sebab dalam militer, stabilitas bukan cuma urusan strategi. Ia adalah tiang bagi rasa percaya. Tiang bagi sistem komando yang tak boleh retak.

Di sini, saya teringat Drona. Guru besar Kurawa dan Pandawa. Seorang panglima yang tak pernah benar-benar memihak. Ia percaya pada kedisiplinan. Tapi ia juga tahu, dalam dunia ksatria, kedisiplinan tak cukup bila tanpa penghargaan. Bila mereka yang setia hanya dipindahkan seperti bidak, maka apa bedanya kehormatan dengan angka?

Saya tidak tahu apakah Presiden Prabowo mengetahui mutasi-mutasi ini sejak awal. Tapi bahkan jika tahu pun, transparansi tetaplah penting. Sebab militer bukan dunia yang steril dari pertanyaan. Justru karena tertib dan hirarkis, setiap pergeseran di sana harus membawa pesan yang jelas.

Bukan hanya kepada mereka yang digeser, tapi kepada seluruh pasukan: bahwa semua ini bukan permainan, bahwa semua ini bukan sekadar soal siapa dekat siapa.

Mayjen Achiruddin misalnya, dipindah dari Danpaspampres ke Pangdam VI/Mulawarman, lalu kembali lagi ke posisi semula dalam waktu kurang dari setahun. Di kertas, mungkin semua tampak rapi. Tapi di dalam hati para prajurit yang menyaksikan, ada tanya yang mungkin tak terucap: mengapa?

Dalam dunia yang harusnya tegak, kejanggalan semacam itu bisa menggoda spekulasi. Dan spekulasi, seperti dalam lakon pewayangan, adalah racun yang paling pelan tapi paling merusak.

Saya kira Panglima tahu itu. Tapi kadang, kekuasaan yang terlalu sibuk bisa lupa: bahwa yang diurus bukan hanya struktur. Yang mereka pimpin adalah manusia. Dan manusia, seperti siapa pun dari kita, tak bisa sepenuhnya tahan terhadap perlakuan yang terasa sembarangan.

Di sinilah peran Panglima diuji, bukan hanya sebagai pengambil keputusan, tapi sebagai penjaga rasa percaya. Sebab kekuatan seorang jenderal bukan hanya terletak pada bintang di pundaknya, tapi juga pada kemampuan membuat yang di bawah merasa dihargai, meski tak dekat.

Kita tak ingin militer kembali menjadi alat kekuasaan. Kita tak ingin sistem komando dibengkokkan oleh kehendak, atau dirusak oleh ketergesaan. Kita ingin militer tetap profesional. Dan profesionalitas, seperti yang dikatakan Ekalaya dalam Mahabharata, adalah kesetiaan tanpa harus diminta. Tapi bahkan Ekalaya pun pada akhirnya terluka—karena tak pernah dianggap.

Kita bisa membenarkan mutasi. Tapi kita juga bisa mengingatkan. Bahwa kepemimpinan sejati tidak diukur dari seberapa sering ia mengganti posisi, melainkan seberapa dalam ia mendengar. Sebab dalam sunyi ruang kerja seorang jenderal, ada suara yang tak tertulis: suara kepercayaan.

Dan seperti kita tahu dari dunia pewayangan, kepercayaan adalah hal terakhir yang bisa dijaga, tapi pertama yang bisa hilang. ***

(Ditulis oleh Jafar G Bua, Tenaga Ahli DPR RI, alumni Asia Journalism Fellowship (AJF) Temasek Foundation, Singapura, 2019 untuk bahan diskusi)