Pemilihan Umum di Indonesia kali pertama digelar pada 1955, 10 tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Setelah itu tiap lima tahun sekali, kita akan disuguhi aneka rupa ‘aktraksi politik' yang kerap disebut sebagai ‘Pesta Demokrasi' itu. Tahun ini kita akan menggelar Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden serta DPD RI, DPRD dan DPR RI bertepatan dengan Valentine Day 14 Februari 2024.
Setiap lima tahun sekali pula kita punya pertanyaan sama, siapa yang akan kita pilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden untuk menahkodai Indonesia hingga lima tahun mendatang. Sekarang ada pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka serta Ganjar Pranowo dan Mahfud MD.
Nah, kita tak akan membahas seberapa berpeluang masing-masing pasangan itu merebut suara lebih dari 200 juta pemilih, kita mencoba melihat fenomena Geng Motor jelang dan pasca Pemilu. Dari penelusuran diketahui, geng motor atau apapun namanya itu kerap muncul di jelang dan berdampak hingga pasca Pemilu.
Coba kita simak data berikut ini. Sejak Pemilu 2009, 2014, 2019 hingga Pemilu 2024 ini, kemunculan geng motor ‘nyaris' selalu bertetapan dengan ‘masa-masa genting' Pemilu. Adakah ini adalah sebuah ‘Operasi Cipta Kondisi' ataukah hanyalah fenomena insidentil saja? coba kita simak catatan media berikut ini.
Jelang Pemilu 14 Februari 2024, Minggu (14/1/2024) Tribun Palu melaporkan personel Polresta Palu berhasil menangkap 96 orang yang diduga terlibat geng motor.
Kapolresta Palu Kombes Pol Barliansyah menyampaikan dari 96 orang itu, 84 orang di antaranya masih berstatus pelajar dan 12 lainnya bukan pelajar.
“Para pelajar itu setingkat SMA dan SMP,” ucapnya.
Dari anggota geng motor itu, polisi menyita 67 kendaraan roda dua. Kemudian, satu topeng, delapan anak panah beserta ketapel, dua buah pisau, satu buah handgrip dan 10 bendera geng motor.
Di masa jelang Pemilu 17 April 2019, Minggu (13/1/2019), Kompas.id memberitakan tawuran antargeng motor kembali terjadi di Perumahan Permata Buana, Jakarta Barat. Puluhan remaja yang diduga geng motor saling serang dengan warga Gang Mandor, Jakarta Barat.
”Mereka geng motor yang cari nama (ingin eksis). Dari pantauan kita di situ memang sering terjadi tawuran karena masyarakatnya welcome. Jadi, ada masa, anak-anak muda mereka sudah bersiap untuk saling serang,” kata pimpinan Tim Pemburu Preman Kepolisian Resor (Polres) Metro Jakarta Barat Inspektur Dua Tamim saat itu.
Sebelumnya, Tamim mendapatkan laporan dari masyarakat bahwa akan terjadi tawuran. Tamim dan enam anggotanya segera menuju lokasi yang berdekatan dengan Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jakarta Barat itu.
Polisi menangkap lima tersangka yang masih di bawah umur. Kelimanya masing-masing berinisial BF (15), MAM (17), MR (16), AF (15), dan MD (12).
Jelang Pemilu 9 April 2014, Jumat (10/1/2014) Kompas.com mengabarkan Kepala Satuan Reskrim Polres Tasikmalaya Kota, AKP Januar Kencana menyatakan, pihaknya meringkus 17 anggota senior geng motor XTC berslogan Sexy Road Indonesia, di Jalan Pataruman, Kota Tasikmalaya.
Mereka diduga telah mengadakan pelatihan tindakan kriminal kepada seluruh anggota barunya, dan menimbulkan keresahan warga Kota Tasikmalaya.
“Awalnya ada laporan dari dua orang pelajar SMP didampingi orangtuanya, yang telah dipaksa masuk geng itu. Dua pelapor dipaksa untuk mengikuti pelatihan tindakan kriminal, seperti mencuri motor, helm, menjambret, dan berkelahi. Pelatihan itu sebagai syarat untuk menjadi anggota geng motor XTC berslogan Sexy Road,” jelas Januar.
Masih dalam suasan Pemilu yang dilaksanakan 9 April 2009, Sabtu (13/6/2009) detik.com melansir berita jajaran Polwiltabes Bandung berhasil membekuk 9 orang anggota geng motor XTC (Exal To Coitus), Sabtu (13/6/2009). Mereka ditangkap karena telah melakukan penganiayaan dan pengeroyokan terhadap korban MR (17), di Jalan Terusan Cibodas Kelurahan Antapani Tengah, Kecamatan Antapani, Sabtu (23/5/2009).
“Mereka kebanyakan masih berstatus pelajar dan usianya di bawah 17 tahun. Hanya 2 orang yang tidak sekolah,” kata Kombespol Imam Budi Supeno, Kapolwilatbes Bandung saat itu. Kesembilan pelaku tersebut adalah DS (17), AS (16), RS (16), DE (16), ED (16), SW (16), AM (16), MH (18), dan AC (15).
Sampai di situ, kita mulai memiliki gambaran atau mungkin saja analisa untuk menjawab pertanyaan di atas; Apakah ini sebuah ‘operasi' atau insidentil saja sifatnya.
Sementara itu, di Jakarta beredar kabar sebuah dokumen Central Intelligence Agency (CIA), badan super intelijen negara adidaya Amerika bocor. Dokumen itu bertajuk Revolusi Warna dan terkait cita-cita Amerika membangun demokrasi liberal di Indonesia.
Namun, seperti dilansir Tribunnews.com, Juru Bicara Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) di Jakarta. Michael Quinlan, memastikan AS tidak pernah ikut campur dalam urusan pemilihan umum (pemilu) 2024 di Indonesia. Kedubes AS pun menyebut info tersebut adalah kabar bohong atau hoax.
“Ini adalah berita palsu (hoaks). Amerika Serikat tidak memihak dalam pemilu,” kata Quinlan.
Quinlan menuturkan sebagai negara yang memiliki kesamaan dengan Indonesia yakni sama-sama menjalankan demokrasi maka pemilihan umum diharapkan bebas dan adil. Pihaknya meminta agar tidak mempercayai informasi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan itu.
Meski demikian, kita tak bisa melupakan keterlibatan negara itu dalam penggulingan Soekarno dan Soeharto, seperti diakui dalam sejumlah laporan CIA yang terpublikasi.
Hanya saja, itu terlalu jauh dari bahan diskusi kita, kita kembali saja ke Geng Motor; Apakah itu juga bagian dari operasi intelijen? Dari beberapa diskusi, meski sulit dikonfirmasi ke beberapa pihak terkait, geng motor tak ubahnya sebuah ‘Operasi Cipta Kondisi' untuk memastikan keamanan, kenyamanan, ketenangan dan ketertiban dengan cara menciptakan ‘musuh bersama'.
Bila masyarakat sudah mempunyai ‘musuh bersama' maka mereka bisa lebih mudah diberi pemahaman untuk menciptakan ‘situasi yang diinginkan' untuk suksesnya Pemilu 2024. Setelah itu adalah menciptakan kesan bahwa dalam situasi seperti itu, maka pasangan tertentulah yang ‘pantas dan layak' menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI.
Dalam situasi ‘teror geng motor' dalam ukuran keluarga, maka orang tua akan mengarahkan anggota keluarganya, utamanya anak-anak remaja untuk lebih berhati-hati dan mengurangi berpergian pada malam hari atau waktu-waktu tertentu. Keriuhan akan mudah dilokalisasi. Pesan-pesan layanan sosial atau iklan pemerintah, parpol, caleg dan lain-lain akan tersampaikan dalam suasana penuh ketenangan dan kedamaian melalui gawai pintarnya masing-masing. Mereka akan berselancar dari satu akun ke akun lainnya dari media sosial mereka.
Dengan adanya ‘lokalisasi keriuhan' macam ini, maka masyarakat umum, anak remaja, pemuda, perempuan belia, atau ibu-ibu yang memiliki potensi menambah riuh pendukung dan simpatisan parpol dan caleg akan mudah dikontrol.
Dalam ‘operasi (intelijen) cipta kondisi' macam itu, tentu saja Polisi sebagai aparatur penegak hukum-lah yang berada di baris terdepan. Sementara satuan lain TNI AD, TNI AL, dan TNI AU bergerak di wilayah kewenangannya masing-masing dan mendukung operasi Kepolisian.
Bila cipta kondisi berhasil, maka Polisi dan aparatur negara lainnya akan lebih mudah bekerja. Bila ada geng motor, tangkap. Bila melawan, tindaki. Pada kasus tertentu Polisi dengan mudah menertibkan para simpatisan atau pendukung Parpol dan Caleg yang berkendara ugal-ugalan dengan knalpot brong atau semacamnya.
Jadi, dalam contoh sederdaha dan salah satu dari tujuan ‘operasi cipta kondisi'; Bila geng motor jadi musuh, maka pendukung parpol dan caleg yang ugal-ugalan pun serupa. Menciptakan musuh bersama akan memudahkan aparatur negara beroleh dukungan atau simpati masyarakat. Hasil akhirnya, operasi akan berjalan lancar dan membuahkan hasil gemilang. ***