Senja yang tetap terik, meski awan kelabu menutup langit menambah suasana magis. Puluhan Guma, senjata tradisional serupa pedang digelar di atas meja bertaplak merah putih. Ada pula Doke, tombak dan Kaliavo, tameng khas Suku Kaili, suku asli Sulawesi Tengah dipancang.
Pameran ini bermula dari kegelisahan Brigadir Jenderal TNI Farid Makruf, Komandan Korem 132 Tadulako, Palu. Sembilan bulan lalu, saat dilantik menjadi Danrem, ia bertanya-tanya, siapa Tadulako yang namanya disematkan di satuan teritorial yang dipimpinnya, di mana gerangan dirinya dan apa yang dia lakukan?
Sejak saat itu, ia terus mencari. Bertemulah perwira Kopassus ini dengan lema-lema sejarah yang melingkupi Sang Tadulako. Guma, Kaliavo, dan Doke adalah di antaranya. Sebagai tentara tentu saja ia tertarik dengan alat-alat pertahanan itu. Ia mengundang sejumlah orang dengan perhatian sama.
Kepala Seksi Operasi Korem 132 Tadulako, Kolonel Inf I Ketut Merta Gunarda pun mendukungnya. Mantan Komandan Grup 1 Kopassus itu, juga menyukai senjata-senjata tradisional. Gayung pun bersambut. Ia ingat pelatih beladiri Grup 1 adalah seorang entusias di bidang itu. Namanya Ki Kumbang.
Dan, Minggu, 5 September 2021 petang di lapangan tenis Korem 132 Tadulako dirangkaikan dengan webinar internasional, alat-alat pertahanan itu mulai dipamerkan. Sejumlah komunitas seni, budayawan, akademisi, para pejabat daerah dan masyarakat umum diundang untuk melihat ragam kekayaan budaya ini.
“Ada yang bertanya-tanya mengapa saya mengurusi hal-hal terkait budaya, yang jauh dari tugas saya sehari-hari. Saya kira orang harus paham bahwa manusia dengan budaya dan kebudayaanlah yang membentuk peradaban kita. Apalagi ini juga terkait dengan Tadulako, sosok panglima perang suku asli yang namanya disematkan pada Korem 132,” sebut Farid.
Pameran ini dikurasi oleh Ki Kumbang. Ia ahli beladiri golok.
“Selama ini saya sudah menjelajahi beberapa daerah mencari jenis-jenis senjata tradisional, namun guma memang berbeda. Bahan-bahannya pun beragam. Ada yang dibuat dari wolfram dan besi serta bahan-bahan lainnya,” sebut dia.
Menurutnya, guma berbeda dengan parang atau pedang. Guma punya kekhasan sendiri dari sisi material maupun penggunaannya.
“Guma di Sulawesi Tengah dipakai sebagai alat pertahanan, sedangkan parang digunakan untuk keperluan sehari-sehari seperti berburu dan berkebun,” sebut dia.
Tidak kurang dari 100 buah senjata tradisional itu dipamerkan. Guma tersebut dikumpulkan dari daerah Palu, Donggala hingga dari Lembah Besoa, Poso.
Rifai, dari Komunitas Pusaka Tadulako menyebutkan bahwa tradisi membuat dan memelihara Guma nyaris lekang oleh zaman. Tinggal sedikit orang yang melakukannya.
“Itulah mengapa kami kemudian berusaha mengumpulkan, menginventarisasi, mengidentifikasi warisan budaya Sulawesi Tengah berupa Guma ini. Beruntung, Korem 132 Tadulako kemudian mengfasilitasi kami melakukan upaya itu,” aku dia.
Menurut Ki Kumbang, dalam waktu dekat mereka akan melakukan uji di Laboratoriam Metalurgi, Institut Teknologi Bandung untuk melihat komposisi Guma. Dari pengalamannya, secara visual, ia melihat senjata khas Suku Kaili, suku asli Sulawesi Tengah, terbuat dari Wolfram, Silika, Mangan, Titanium, Tembaga bahkan Nikel. Begitu pun yang dapat dilihat pada Doke.
“Di antara koleksi yang kami pamerkan ini, ada yang sudah berusia tidak kurang dari 200 tahun sesuai perhitungan periode pewarisannya,” sambung Rifai.
Guma memang istimewa. Dalam satu bagian bilahnya, masing-masing punya identitas sendiri. Mulai dari gagang hingga ke ujung bilah. Valombo atau Warangkanya pun unik. Ada garis penanda pewarisan antargenerasi dan bukti pertarungan pemiliknya, bisa berupa rambut musuh atau lainnya.
“Guma tak bisa dipakai sembarangan, ada yang hanya bisa dipakai oleh Raja, ada yang dipakai oleh Tadulako, atau panglima perang dan ada jenis yang dipakai orang kebanyakan,” jelas Rifai.
Jenisnya beragam, ada Tinompo, Garanggo, Kalama, Petondu, Lompo dan Kandanjonga. Kepala Museum Negeri Palu, Iksam, menyebutkan dulunya ada beberapa jenis lagi, namun kini tinggal beberapa jenis Guma yang bisa diidentifikasi.
“Ada yang dipakai oleh para Raja, keturunan bangsawan atau pembesar, ada orang kebanyakan dan ada pula yang dipakai saat ritual-ritual adat tertentu saja,” jelasnya.
Gagangnya pun berbeda. Ada yang seperti mulut terbuka, melengkung penuh, setengah atau lurus saja, adapula yang tajam di bagian ujung atau juga serupa ekor burung.
Dari melihat gagangnya saja, orang pun tahu siapa pemakainya, apakah dia raja, bangsawan biasa, panglima perang atau rakyat biasa. Istimewanya, meskipun begitu, itu tak dimaksudkan sebagai pembeda strata sosial, itu disesuaikan dengan fungsi dan kegunaan guma.
Warga Kota Palu, Sulawesi Tengah, saat ini tinggal bisa melihat Guma saat upacara-upacara adat, misalnya perkawinan para keturunan bangsawan Kaili, penyambutan tamu atau ritual lainnya. Dulunya dipakai untuk pelantikan raja dan perangkat kerajaan lainnya.
Di zaman perjuangan kemerdekaan, Guma dan Doke juga Taliavo menjadi alat pertahanan dan perlawanan kepada penjajah Belanda.
Satu-satunya yang menggambarkan dipakainya senjata-senjata tradisional itu hanyalah dapat dilihat pada Monumen Karanjalembah di Kota Biromaru, Sigi.
Di situ, berdiri patung setinggi manusia normal seorang raja muda Kerajaan Sigi yang disapa Toma I Dompo bergeming. Namanya aslinya Karanjalembah. Ia adalah raja dan panglima yang memimpin Perang Sigi-Dolo pada periode awal 1900-an. Bersama rakyatnya, ia melakukan perang terbuka melawan Pemerintah Hindia Belanda hingga penangkapannya pada 1905.
Toma I Dompo diasingkan ke Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat pada 1915. Karanjalembah lahir di Biromaru pada 1852 dan wafat di Desa Cisaat, Kecamatan Cisaat, Kabupaten Sukabumi pada 1922. Pada 2006, di masa pemerintahan Gubernur Bandjela Paliudju, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah memindahkan jenazah Karanjalembah dari Sukabumi ke Desa Watunonju, Kabupaten Sigi.
Hal-hal seperti itulah yang membuat Farid, yang mantan Kepala Penerangan Kopassus ini gelisah.
“Bangsa yang tidak memiliki akar sejarah, seperti pohon yang tidak memiliki akar, dia akan tumbang. Dengan mengangkat budaya kita, kita jadi tahu siapa kita. Dan itu harus dilakukan oleh generasi muda di Sulawesi Tengah, kami-kami ini akan mendukungnya,” sebut Farid.
Jadi, menurutnya, pameran senjata tradisional, tak cuma sekadar pameran, ini menjaga menjaga peradaban kita dengan memelihara warisan budaya masa lalu. ***