Sejak 2019, tercatat 40 lembaga survey tercatat di Komisi Pemilihan Umum. Salah satu yang terkaya adalah Poltracking Indonesia?! Pertanyaan ini dilontarkan Sony Lahati, akademisi Universitas Alkhaiaat Palu setelah membaca siaran resmi lembaga itu di media.
Hanta Yudha, pendiri dan eksekutif lembaga itu bilang bahwa survey atau sigi mereka atas elektabilitas calon-calon kepala daerah termasuk di Sulawesi Tengah menggunakan sumberdaya mereka sendiri dan tanpa pesanan siapapun.
“Hebat benar ya?! Sedangkan lembaga sekelas Polmark Indonesia yang digawangi Eep Saefulloh Fatah saja baru-baru ini dibayar Rp1,5 miliar untuk kepentingan Pemilihan Walikota Makassar,” tukas Sony.
Ia menyayangkan apa susahnya menyatakan ke media bahwa ini adalah sigi pesanan. Bukankah prinsip-prinsip etis semisal kejujuran melahirkan kredibilitas lembaganya?
Seperti diketahui Poltracking baru-baru ini menggelar sigi Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Tengah.
Mereka menggelarnya pada 20 – 24 Oktober 2020. Peneliti Poltracking, Faisal menjelaskan, sigi ini menggunakan metode stratified multistage random sampling atau sampel acak berdasarkan tingkatan tertentu dengan jumlah responden 1.200 yang tersebar dari Kabupaten Buol sampai Banggai Laut. Sigi berbasis TPS dengan sampel 5 TPS 10 responden. Menyasar pula pemilih dengan latar belakang agama, suku dan tingkat pendidikan dari para pemilih.
Faisal menjelaskan survei ini berdasarkan pertanyaan dengan simulasi surat suara, yang dimasukan dalam kotak suara.
Poltracking mengklaim model seperti ini mempunyai validasi jawaban yang lebih baik dibandingkan jawaban responden yang disampaikan kepada pewawancara.
Hasil siginya memenangkan pasangan Rusdi Mastura – Ma’mun Amier sebesar 56,8 persen, lalu pasangan Mohammad Hidayat Lamakarate – Bartholomeus Tandigala sebesar 25,0 persen. Adapun 12,7 persen belum menentukan pilihan dan 7,5 persen merahasiakan pilihannya.
Sampai di sini tentu sigi ini tak jadi masalah. Kejanggalannya baru diketahui setelah hasil dijumlahkan didapat angka 102 persen bukan 100 persen. Belakangan angkat 7,5 persen diubah menjadi 5,5 persen untuk mengoreksi itu. Apakah ini semata typo atau kesalahan saat mengetik atau karena kesalahan perhitungan? Atau karena ada hal lainnya?
Itu masalah pertama, menurut Sony. Itu belum lagi bila melihat waktu sigi yang hanya empat hari dengan jumlah wilayah 12 kabupaten dan 1 kota. Apalagi jika mengingat ini adalah sigi pertama poltracking di wilayah Sulawesi Tengah maka bisa dibilang hasilnya ini disimpulkan terburu-buru. Ini seperti sopir angkutan kota atau bus kota yang mengejar setoran.
“Belum lagi bila mengacu data pemilihan jumlah tempat pemungutan suara di wilayah ini. Dari data KPU diketahui jumlah pemilih mencapai 2 juta orang dengan jumlah TPS se-Sulteng sebanyak 6.288 unit,” sambung Sony yang juga seorang peneliti di Universitas Alkhairaat Palu ini.
Bagaimana pendapat Anda? ***