Seandainya Nabi Muhammad ﷺ masih hidup hingga 2025 ini, usianya sudah menyentuh 1.455 tahun. Angka yang tentu mustahil secara biologi, tetapi justru menyiratkan sesuatu yang lebih dalam: betapa ajaran dan keteladanannya tak pernah lapuk digerus zaman. Dari padang pasir Mekkah berabad-abad lalu, cahaya itu tetap menyinari hati miliaran manusia hingga kini.

Dalam beberapa riwayat sosok Nabi ﷺ digambarkan dengan begitu indah. Tubuhnya tegap, wajahnya bercahaya, matanya jernih, dan senyumnya bagai bulan purnama. Bahkan keringatnya disebut lebih harum daripada kesturi. Setiap langkahnya mantap, seakan sedang menuruni lereng, penuh wibawa namun tetap lembut. Sosok yang sempurna, bukan sekadar dalam rupa, tapi juga dalam akhlak.

Itulah sebabnya, ketika 12 Rabiul Awal tiba, tahun ini jatuh pada 5 September 2025/12 Rabiul Awal 1447 Hijriyah, umat Islam di seluruh dunia seakan kembali diingatkan pada semua penggambaran tentang manusia agung ini. Di banyak tempat, peringatan Maulid tidak hanya menjadi doa bersama, melainkan juga pesta budaya, sebuah perayaan yang mengikat hati, keyakinan dan tradisi.

BACA INI JUGA:  Pendaki Manado Tewas Jatuh ke Jurang di Gunung Klabat, Jalur Ditutup Sementara

Sejarah mencatat, Maulid Nabi ﷺ pertama kali dirayakan secara resmi pada abad ke-12 di Mesir, lalu menyebar ke berbagai penjuru dunia Islam. Di Nusantara, para ulama dan Walisongo menjadikannya sarana dakwah kultural. Di Aceh, Maulod disambut dengan kenduri besar; di Jawa ada Muludan dengan Grebeg Maulud yang meriah, penuhpula dengan makanan, di Gorontalo ada Walima, arak-arakan makanan; sementara di Bugis-Makassar, gema Barzanji mengalun syahdu.

Dan di Parigi Moutong, ada sebuah nama khusus yang lekat di hati masyarakat: Pomolu.

Pomolu bukan sekadar perayaan, melainkan pengalaman kolektif penuh warna. Suasana biasanya dimulai dengan pembacaan Barzanji, lantunan kisah hidup Nabi ﷺ yang menggetarkan hati. Setelah itu, riuh suara anak-anak pun memenuhi ruangan. Mereka berlarian berebut telur-telur warna-warni yang digantung dengan benang pancing di dalam masjid atau balai kecil. Ada pula batang pisang yang dipenuhi telur berhias kertas minyak, ditancapkan rapi seperti pohon kebahagiaan.

BACA INI JUGA:  Gereja Elim Masani Poso Pesisir Roboh Diguncang Gempabumi Magnitudo 6.0

Bagi anak-anak, Pomolu adalah surga kecil. Bagi orang tua, ia adalah warisan yang mengikat generasi dan menebalkan keyakinan. Bagi seluruh masyarakat, ia adalah cara sederhana untuk mengatakan: “kami mencintai Nabi ﷺ”.

Tak jauh berbeda dengan Maulid Nabi ﷺ di Tanah Bugis, Pomolu di Parigi Moutong menyimpan makna yang sama: mempererat kebersamaan, menghidupkan cinta kepada Rasulullah ﷺ.

BACA INI JUGA:  DPRD: Dua Orang Dilaporkan Tewas Saat Demo Bupati Pati

Mengapa Maulid Nabi ﷺ identik dengan telur? Itu memang lantaran sejak jauh waktunya, memori bahwa telur adalah awal kehidupan sudah tertanam lekat di pikiran kita.

Pada akhirnya, Maulid Nabi ﷺ bukan sekadar nostalgia tentang kelahiran seorang manusia mulia berabad lalu. Ia adalah ruang untuk menyalakan kembali api teladan Nabi dalam kehidupan sehari-hari, tentang kejujuran, amanah, kasih sayang, dan persaudaraan.

Dan setiap kali telur warna-warni itu digenggam tangan mungil anak-anak, seakan ada pesan yang kuat: cahaya manusia agung ini tak akan pernah padam, ia hidup di antara kita, dalam cara paling sederhana sekalipun. ***