Pada era 1990-an kita pernah menonton Sharivan, Satria Baja Hitam dan Power Rangers di stasiun-stasiun televisi kita. Itu adalah film petualangan anak-anak. Aksi mereka mirip; Manusia yang bertranformasi menjadi robot. Sehari-hari mereka adalah pemuda biasa.
Lalu ada pula Terminator. Ia adalah Cyborg; Organisme Sibernetik, gabungan tubuh manusia dan sesuatu serba robotik. Sebelum kehadiran Terminator, ada Robocop, seorang Polisi baik yang terbunuh oleh penjahat lalu dihidupkan kembali dengan menambahkan bagian robotik di tubuhnya.
Kesamaan dari mereka juga adalah alat komunikasinya; Komunikasi audio visual yang terhubung dengan satelit atau penyedia komunikasi selular. Di bagian kisah Sharivan atau Power Rangers misalnya, para penjahat berkomunikasi dengan layar besar yang menampilkan wajah mereka.
Sungguh, kala itu belum terbayangkan oleh kita komunikasi seperti ini, kecuali tabung televisi dari hitam putih kemudian berwarna yang ditempatkan di Balai Desa. Kemudian ada satu dua milik orang berpunya dan kita sekampung beramai-ramai menontonnya seolah bioskop.
Sekarang, teknologi itu sudah menjadi sesuatu yang terlalu lampau. Kini, kini bisa berkomunikasi di genggaman tangan kita. Kehadiran telepon genggam dari yang cuma bisa berkirim pesan pendek hingga berkomunikasi audio visual bisa dipunyai semua orang. Kian hari kian canggih.
Ada pula teknologi konferensi video antar pejabat atau kalangan profesional lainnya.
Lalu saat coronavirus disease 2019 atau virus korona baru mewabah, mulai dari murid sekolah dasar hingga mahasiswa perguruan tinggi, orang-orang kantoran dan kalangan profesional harus bekerja dari rumah menjadikan Zoom popular.
Aplikasi ini mengkhususkan diri pada komunikasi video. Layanan yang mulai dirintis pada 2011 baru mulai dioperasikan secara meluas pada 2013. Didirikan oleh Eric Yuan, seorang engineer di Cisco System, perusahaan multiteknologi di Amerika Serikat.
Selama pandemi pemakaian zoom meluas, meski menuai kontoversi karena keamanannya yang rentan. Hanya saja sebab kemudahan penggunaannya membuat orang tetap memilihnya. Layanan ini mengalahkan aplikasi lainnya yang sudah ada macam Skype atau Slack.
Zoom bagi saya luar biasa, bukan cuma karena teknologinya, tapi dialah yang bisa membangunkan putra saya yang lelap tidurnya. Saban jam 11.00 ante morning, ia harus hadir di kelas mayanya. Gurunya di seberang sana di depan desktop komputer atau laptop lalu ia di depan telepon genggamnya yang sudah diinstall aplikasi ini.
Maka seperti hari-hari sekolah biasa, mereka bertemu muka di Rumah Sekolah Cendekia ‘yang maya’. Mereka bercengkrama di ruang-ruang kelas yang tak kasat mata itu. Ada tugas yang harus diselesaikan, adapula pekerjaan rumah seperti biasanya. ***