Aksi Kelompok Mujahiddin Indonesia Timur di Lembah Napu di pengujung Ramadhan 1442 Hijriyah terasa menghentak. Empat warga Lembah Napu, Desa Kalimago, Kecamatan Lore Timur, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah menjadi korban penyerangan kelompok ini. Diduga kelompok yang beraksi di Lembah Megalit itu dipimpin oleh Qatar, bukan Ali Kalora.
Lelaki ini asal Bima, Nusa Tenggara Barat memang dikenal garang. Ia mulai bergabung dengan MIT sejak masih dipimpin Santoso alias Abu Wardah yang tewas ditembak Satuan Tugas Operasi Tinombala pada 18 Juli 2016. Ia aktif dalam tadrib asykari atau pelatihan milisi yang digelar Santoso. Ia licin bak belut. Berkali-kali diburu, ia terus lolos.
Dua bulan lalu, ketika Ali Kalora menyatakan akan menyerah, Qatar yang justru menghalangi keinginan Ali Kalora. Ali kemudian tertembak pada kontal 22 Maret 2021 lalu.
Pengamat terorisme sekaligus Direktur Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) Sidney Jones bahkan menyebut Qatar yang lebih berpengaruh dibanding Ali Kalora dalam tubuh MIT.
“Jangan lihat Ali Kalora sebagai pemimpin satu-satunya di kelompok itu sepeninggal Santoso. Ada pemimpin kedua yakni Qatar dari Bima yang sudah lama bergabung sejak Santoso masih hidup. Ia lebih kharismatik dari Ali Kalora,” sebut Sidney yang pernah lama menetap di Indonesia itu.
Menurut Sidney, jejaring teroris di Poso tak bisa dilihat secara lokal saja. Mereka punya jejaring nasional bahkan internasional.
Sejak zaman Jamaah Islamiyah banyak mentor dari Jawa dan Makassar dikirim ke Poso untuk melatih Asykari dari kelompok ini. Mereka umumnya adalah bekas kombatan Afghanistan dan berpengalaman pula di Moro, Philipina Selatan.
Zaman Santoso, bahkan kelompok ini pernah mendapat dukungan keuangan dari Suriah setelah mereka berbaiat kepada Islamic State Iran and Suriah pimpinan Abu Akbar Albaghdadi.
“Ada jaringan internasional, Santoso bisa membeli senjata dari Mindanao dengan bantuan dari Suriah,” sebut Sidney dalam sebuah diskusi virtual yang digelar oleh detik.com.
Terkait jejaring lokal, Ia melihat bahwa masalah yang dihadapi oleh aparat keamanan tak bisa cuma diselesaikan dengan pendekatan militer atau polisional.
Ini seperti yang diungkapkan Komandan Korem 132 Tadulako, Brigadir Jenderal TNI Farid Makruf, MA. Keberadaan simpatisan atau pendukung kelompok ini memang menjadi masalah.
“Kalau bicara kekuatan senjata sebenarnya, selama ini kami tidak pernah mendapatkan info atau fakta adanya pasokan senjata baru. Mereka hanya punya M-16 dan dua revolver. Kemudian peluru-peluru yang kami sita selama ini adalah peluru lama. Jadi dalam hal ini kalau berbicara tentang kekuatan sejata mereka lemah,” beber Farid.
Tentara kelahiran Bangkalan, Madura, Jawa Timur, 6 Juli 1969 ini menyatakan pula sembilan anggota kelompok itu dalam keadan kekurangan makanan dan lainnya.
“Bagi kami sebenarnya mudah melumpuhkan sembilan orang ini bila ditemukan.. Kesulitannya adalah mereka dibantu informasi oleh masyarakat. Dibantu pula logistiknya oleh masyarakat yang merupakan simpatisan mereka. Pergerakan pasukan dan informasi lainya mudah mereka ketahui dan bahan makanan mereka pun selalu dipasok oleh simpatisan,” aku mantan Komandan Korem 162 Wira Bakti Mataram ini.
Menurutnya, hal itu adalah persoalan penting. Olehnya ia mengimbau masyarakat, bila ingin kalau operasi ini selesai, untuk menghentikan pasokan logistik dan informasi kepada kelompok itu.
“Kalau mereka tidak disupport dengan informasi dan logistik, mereka di atas akan kelaparan sehingga dengan mudah mereka dilumpukan. Lalu dibawa untuk diadili untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka sesuai dengan aturan hukum yang berlaku di negara kita,” sebutnya.
Sidney bahkan secara spesifik melihat bahwa keluarga dari para kombatan ini adalah pendukung nyata kelompok ini.
“Mereka itu punya adik atau saudara, baik yang masih di dalam hutan, kombatan yang masih di penjara dan mereka yang sudah bebas,” sebutnya.
Masalah itulah yang memang harus diselesaikan tak cuma dengan pendekatan keras berupa operasi keamanan.
Dan soal itu, Farid pun bersepakat; “Ya, yang kita lakukan tak cuma hard approach, pendekatan keras dan terukur tapi juga soft approach, pendekatan melalui operasi pembinaan teritorial.”
“Di satu sisi, kita terus memburu kelompok ini, di sisi lain kita terus berupaya melakukan operasi teritorial melalui pembinaan sosial kemasyarakatan di wilayah-wilayah di mana kelompok ini menanamkan pengaruh mereka. Ini harus berjalan bersama-sama, agar operasi penuntasan kasus terorisme di wilayah Poso bisa segera usai,” demikian Farid menjelaskan strateginya.
Kita pun berharap, kasus ini segera usai agar tiada lagi nyawa yang meregang sia-sia. Sejatinya, upaya aparat keamanan di Poso untuk memangkas tumbuhnya benih terorisme baru melalui operasi teritorial mestinya kita dukung. ***