Gedung Widyawati Corp. Tiga Hari Setelah Serangan. Pagi itu matahari bersinar cerah, seolah tak terjadi apa-apa. Namun di lantai 27, suasana tak sehangat langit luar. Rapat darurat diadakan oleh dewan direksi tanpa pemberitahuan kepada media. Agenda tertulis hanya satu kalimat: “Evaluasi Keamanan dan Kepemimpinan”.

Shinta Chantika datang dengan setelan putih krem dan rambut disanggul rapi. Wajahnya tenang, tapi sorot matanya menyala. Di belakangnya, berdiri tegap Satria Wibawa, mengenakan jas hitam tanpa dasi, wajah dingin seperti batu kali yang tak bisa dipahat.

Di seberang meja: , direktur logistik, mengenakan jas biru gelap. Ia duduk dengan gaya santai, seolah baru kembali dari liburan. Tapi matanya mengawasi setiap gerak .

“Kita semua tahu insiden kemarin tak bisa dibiarkan,” ujar Reynaldo. “Serangan di ruang direksi adalah preseden buruk. Dan Bu Shinta, sebagai CEO, belum menunjukkan penanganan sistematis.”

Shinta membuka map, menggeser ke tengah meja.

“Ini laporan lengkap dari kepala keamanan. Latar belakang pelaku, rekam jejak sabotase, hingga nama penyusup yang tak terekam di sistem.”

Ia memandang Reynaldo lurus.

“Dan menariknya… ID akses yang digunakan untuk menonaktifkan sistem alarm berasal dari bagian logistik.”

Ruang rapat sunyi.

Reynaldo tersenyum tipis. “Tuduhan besar, Bu Shinta. Tapi tak ada bukti saya menyuruhnya.”

Shinta balas tersenyum. “Tapi cukup untuk membuka audit menyeluruh. Termasuk pembekuan dana cabang Timur.”

Reynaldo menyandarkan tubuh, menepuk-nepuk meja.

“Silakan. Tapi kau lupa satu hal, Shinta. Di dewan ini, kamu punya suara… tapi aku punya jaringan.”

Sore Hari. Ruang Data Pribadi. Satria memasuki ruang kecil di lantai bawah gedung. Di dalamnya, layar besar menampilkan peta jaringan Widyawati Corp. Ia mengatur data, menyatukan semua potongan: dari serangan, akses login, hingga komunikasi gelap antara divisi logistik dan dua akun luar negeri.

Ia menekan tombol. Muncullah wajah .

“Dia muncul dalam transaksi virtual dengan codename Damar Putih, 48 jam sebelum serangan. Servernya terhubung ke… satu rumah tua di tepi kota Cendana.”

Satria mengepalkan tangan. Rumah itu dulu milik gurunya sebelum dikhianati.

Malam Hari. Vila Tua di Tepi Kota. Satria mendatangi vila tua itu. Atapnya sudah runtuh sebagian, namun energi aneh masih terasa di dalam. Ia melangkah pelan. Debu mengambang. Di sudut ruangan, ia menemukan sesuatu: lukisan tua bergambar seorang wanita. Ia mendekat. Matanya membelalak. Itu ibunya. Kartika Larasati.

Tapi di sudut lukisan… ada cap merah. Lambang organisasi rahasia persilatan: Langit Hitam. Organisasi yang dulu dibubarkan karena keterlibatannya dalam pembunuhan politik dan bisnis. Tiba-tiba, angin berdesir. Satu surat jatuh dari balik lukisan.

Tulisan tangan rapi:

Jika kau menemukan ini, Satria, maka waktunya telah tiba. Jangan cari aku di masa lalu. Tapi bersiaplah… karena kebenaran bukan hanya tentang Ibumu… tapi juga Ayahmu.

Kembali ke Apartemen. Tengah Malam. Satria duduk di balkon, surat masih di genggamannya. Shinta datang membawa dua gelas teh hangat.

“Aku tahu kamu sedang menahan sesuatu,” katanya lembut.

Satria diam lama, lalu menatapnya. “Aku bukan hanya anak yang dibuang. Aku mungkin bagian dari rahasia besar yang menghubungkan jurang, korporasi, dan darah.”

Shinta menatapnya, tak bertanya lebih.

“Dan orang-orang yang menyerangmu kemarin… bukan hanya ingin menguasai Widyawati Corp. Mereka ingin menghapus jejak keluargaku… dari sejarah.”

Dan malam itu, untuk pertama kali, Satria Wibawa menyadari: ia tidak hanya berurusan dengan dendam pribadi. Tapi dengan kekuatan gelap yang mengakar hingga ke dunia korporasi, dunia politik, dan dunia persilatan.

Semua titik mulai terhubung. Dan ia berdiri di tengah .

Bersambung ke Episode 11: Langit Hitam dan Luka yang Terbuka…