Gunung Ilalang. Usai Pertemuan Meja Batu. Langit murung. Kabut turun perlahan. Para pendekar yang hadir mulai mundur satu per satu, menyadari satu hal mengerikan: perpecahan tak terelakkan.

Di tengah medan terbuka itu, dua sosok berdiri saling berhadapan.

Satria Wibawa—putra Mahesa dan Kartika Larasati, berdarah dua kutub: cahaya dan bayangan.

Sagara Widjaya—putra Mahesa dari perempuan yang tak pernah disebut, diasuh rahasia oleh Tiga Pendekar Langit Hitam Purba, dan kini muncul sebagai ancaman tak tertulis.

Ritual Duel Kehormatan. Sumpah Darah Tanpa Dendam.

Raden Cempaka melangkah ke tengah lingkaran pendekar.

“Kalian bersaudara. Kalian mewarisi darah Mahesa. Tapi kalian juga menjadi kutub yang tak bisa bersatu.”

“Maka hari ini, dengan restu para tua dan para roh gunung, kalian bertarung. Bukan untuk saling membunuh, tapi untuk menyatakan siapa pemegang jiwa utama Mahesa.”

Tabib Wulan meletakkan dua batu kecil: satu bersinar keemasan, satu berwarna obsidian.

Yang menang akan menyentuh batu dan mendapatkan kapsul warisan terakhir Mahesa, berisi inti dari Jurus Bayangan Ketiga yang sempurna.

Duel Dimulai. Mereka berdiri tanpa senjata. Satria memilih posisi Langit Madya Rendah, teknik bertahan sekaligus mengalir.

Sagara memilih Langit Gelap Ganas, posisi menyerang tanpa jeda, gabungan antara aliran racun, pukulan hampa, dan bayangan jiwa.

Serangan Sagara pertama datang seperti badai: pukulan berganda berbasis getaran jiwa, memecah udara menjadi retakan kecil.

Satria menangkis dengan gerakan Bayangan Kosong, teknik yang hanya bisa dilakukan oleh pendekar yang sudah kehilangan egonya.

“Kau menguasai jurus ibu. Tapi kau menolak ayahmu.”

“Aku… mewarisi keduanya.”

kata Sagara dengan suara dingin.

Serangan Kedua: Runtuhnya Dinding Batin

Sagara melepaskan teknik terlarang:

“Cermin Luka” —serangan yang memperlihatkan kepada lawan momen paling menyakitkan dalam hidupnya. Satria terhenti.

Ia melihat kembali: Jurang tempat tubuh kecilnya dibuang.

Racun dalam teh sore hari buatan Sarah Widyawati. Kartika menangis memeluk dirinya saat bayi…Dan Shinta, di balkon, berwajah bingung, antara saudara dan kekasih.

Hatimu goyah, Sat!

Teriak Sagara.

“Kau bukan pendekar. Kau hanya anak kecil yang dibesarkan trauma!”

Tapi di saat itu, suara lain muncul dalam batin Satria. Suara lembut.

“Kau bukan luka. Kau bukan dendam. Kau adalah penjaga.”

Dan dengan satu nafas panjang, Satria mengaktifkan versi belum sempurna dari Jurus Bayangan Ketiga.

Tabrakan Dua Dunia. Saat dua kekuatan bentrok, langit mendung menjadi gelap pekat. Petir menyambar tanpa suara. Tanah retak di bawah kaki mereka.

Aura mereka berubah menjadi dua naga: satu hitam bergaris merah darah, satu putih berasap lembut. Dan…Keduanya terpental. Sagara berdiri dengan lutut gemetar.
Satria terduduk, tubuhnya berdarah dari pelipis dan bahu.

Raden Cempaka melangkah maju.

“Tak ada pemenang. Kalian sama kuat. Tapi berbeda arah.”

Tapi batu obsidian… melayang ke arah Satria. Membisikkan cahaya tipis. Mahesa telah memilih.

Setelah Duel – Di Balik Tebing Gunung Ilalang. Sagara menyendiri, memandang matahari yang tertutup awan.

Dari balik bayangan pohon, muncul Sarah Widyawati.

“Kau tahu, Sagara. Mahesa memang tak pernah memilih dengan akal. Ia memilih dengan harapan.”

Sagara menoleh, matanya merah. “Dia memilih Satria karena cinta. Bukan kekuatan.”

Sarah tersenyum dingin.

“Dan karena itu… kita akan buktikan: cinta bukan apa-apa dibanding takdir.”

Sementara itu, Satria duduk di bawah pohon ilalang. Shinta mendekat, menyeka darah dari pelipisnya.

“Apa yang kau rasakan?” tanya gadis itu.

“Bahwa aku tidak lagi bisa kembali. Dunia lama sudah runtuh. Dan dunia baru… hanya bisa dibangun di atas luka yang jujur.”

“Aku akan bangun itu. Bahkan bila harus melawan darahku sendiri.”

Bersambung ke Episode 20: Takhta Rahasia Langit Hitam…