Gema Mahesa di Dalam Batu. Di suatu tempat yang tak terpetakan oleh peta biasa, tersembunyi “Mata Jiwa Mahesa” — peninggalan terakhir sang legenda yang mengunci sisi tergelap dirinya.

Mahesa, sebelum menghilang dari dunia silat, memecah mata jiwanya menjadi tujuh pecahan, lalu menyebarkannya ke tujuh tempat yang dulu menjadi panggung murid-murid pengkhianatnya.

Kini, Tujuh Pemecah Cahaya—para eks murid Mahesa yang merasa dibuang, kembali memburunya, berniat menyatukan kembali gelap Mahesa sebagai senjata mengguncang dunia.

Rapat Darurat di Markas Netral Widyawati Corp. 1qPeta kuno terbentang di hadapan Satria, Kiara, Shinta, dan Bagas. Di atasnya terdapat tujuh tanda merah darah, melingkari lokasi-lokasi spiritual tinggi.

“Tujuh titik ini bukan sekadar tempat biasa,” ujar Kiara sambil menyentuh kertas dengan jemarinya yang sensitif energi.

“Ini adalah pusat dari tujuh trauma Mahesa… dan tujuh muridnya yang merasa dikhianati.”

Bagas menambahkan: “Kalau mereka berhasil mengaktifkan semuanya, mereka bisa membuka Gerbang Akhir, tempat tersimpan kekuatan murni Mahesa sebelum dia memutuskan jadi penjaga, bukan penguasa.”

Satria mengepalkan tangan.

“Kita harus mendahului mereka. Sebelum semua berubah jadi neraka.”

Titik Neraka Pertama: Gua Sunyi Cakar Langit. Satria dan Kiara pergi menuju gunung Karana Selatan, tempat Gua Cakar Langit berada—bekas tempat Mahesa mengasingkan murid pertamanya, Karna Palamar.

Gua itu tidak bisa dibuka dengan kekuatan. Tapi dengan penebusan rasa takut.
Saat mereka masuk, ilusi masa lalu menyergap.

Satria melihat ayahnya, Mahesa, melempar Karna keluar dari lingkaran latihan.

“Kau terlalu menggebu, Karna. Kau hanya ingin jadi raja, bukan jadi pelindung.”

Karna muda berteriak: “Karena dunia tak butuh pelindung! Dunia butuh penguasa yang kuat!”

Kiara, yang berada di sebelah Satria, membuka kristal pembaca jiwa. Gua bergemuruh. Dan sebuah bola hitam kecil, Pecahan Pertama Mata Jiwa, muncul dari dinding batu.

“Kita berhasil satu,” ujar Satria.

Tapi tiba-tiba—getaran keras. Karna Palamar muncul, tubuhnya kini ditumbuhi api dan logam.

“Kalian pikir bisa ambil itu tanpa bayar?”

Satria mundur, bersiap bertarung. Tapi Kiara melangkah maju.

“Karna… apakah kau masih murid Ayahku… atau hanya bayangannya?”

Dan… Karna menangis. Air matanya melelehkan lapisan logam. Api padam.

“Aku tak pernah membenci Mahesa. Aku hanya benci ditinggal.”

Karna terdiam. Lalu berlutut.

“Bawa pecahan itu. Tapi bersiaplah. Yang lain… tak akan segampang aku.”

Sementara Itu. Titik Neraka Kedua: Rawa Bisu di Timur. Sagara Widjaya menapakkan kaki di Rawa Bisu, tempat Mahesa dulu membekukan ilmu dari Ratu Serapah, Lantara—murid ketujuhnya yang paling kejam.

Lantara muncul dari kabut, menyambut Sagara.

“Kalau kau benar-benar anak Mahesa, maka buktikan bahwa kau tak butuh dia.”

Sagara menarik Pedang Prabawa, menebas ilusi, mengoyak danau sunyi. Dan di tengah semburan lumpur… Pecahan Kedua Mata Jiwa Terangkat.

Kini permainan berubah. Ini bukan lagi tentang adu kekuatan. Tapi adu kecepatan mengumpulkan masa lalu sebelum ia menjadi bom waktu.

Satria menatap pecahan pertama dalam tangannya. Ia bisa merasakan… sisi gelap ayahnya bergetar halus. Merindukan persatuan.

“Ayah… apa kau ingin kami menyatukan ini untuk membunuhmu… atau menyelamatkanmu?”

Kiara menggenggam tangannya.

“Jawabannya ada di titik terakhir.”

Dan waktu mulai habis.

Bersambung ke Episode 25: Sumur Terbalik di Utara Beku…