Di Antara Salju yang Tak Pernah Cair. Angin dingin menyayat kulit. Langit nyaris tak berwarna. Di wilayah Kutub Gunung Beura, terdapat tempat yang hanya muncul saat suhu mencapai minus tujuh puluh tujuh derajat, yaitu: Sumur Terbalik — lubang abadi yang menelan cahaya, dan di dasarnya, dipercaya bersemayam Pecahan Ketiga Mata Jiwa Mahesa.
Tempat ini dulunya adalah markas Bayu Laksa, murid ketiga Mahesa, sang penguasa angin dan es, yang dulu dihukum pembekuan tubuh dan jiwa karena mengkhianati perjanjian darah.
Perjalanan Satria dan Kiara. Satria dan Kiara menembus badai salju di punggung kuda salju spiritual yang hanya bisa ditunggangi oleh jiwa tak bersenjata.
Dalam perjalanan, Kiara berkata pelan: “Bayu Laksa tidak jahat. Ia hanya… kecewa. Ia ingin Mahesa tak hanya menjaga dunia, tapi membalaskan dendam pada para pendekar penjilat penguasa.”
“Tapi ayah tak pernah mau membalas,” jawab Satria. “Dia percaya dunia harus sembuh, bukan dibalas.”
Kiara menggenggam salju yang membatu.
“Maka kita akan tahu… apakah Bayu masih hidup, atau hanya bayangannya yang menunggu kita di sumur.”
Sumur Terbalik. Dunia Tanpa Atas. Mereka tiba. Sebuah lingkaran besar, tak berdasar, tak berdinding. Saat Satria melompat masuk, dunia terbalik. Ia jatuh… ke atas. Kiara menyusul, mengandalkan roh pengarah dari kitab hening yang bersatu dalam tubuhnya.
Di dalam sumur, ada salju yang menggantung, batu es yang mengambang, dan suara bisikan—ribuan—yang menyebut nama Satria Wibawa.
“Anak Mahesa. Warisan yang tak selesai.”
“Kau ingin menguasai? Atau menghapuskan semuanya?”
“Atau… hanya mencari ayah yang tak pernah pulang?”
Bayu Laksa Muncul. Dari kabut es, sesosok lelaki berselendang kabut dan mata putih kebiruan muncul. Bayu Laksa. Tapi tubuhnya tak utuh—setengah roh, setengah raga, dan seluruhnya dendam.
“Satria… kau mirip Mahesa. Tapi lebih ragu.”
“Apa kau datang ingin menyatukan? Atau memecah lagi?”
Satria menjawab tenang.
“Aku tak ingin mengulang kesalahan Ayah. Tapi aku juga tak ingin jadi Ayah yang gagal menebus muridnya.”
Bayu tersenyum dingin.
“Kau ingin pecahan ketiga? Maka kau harus bertarung melawan kenangan yang ingin kau kubur.”
Ilusi Bayangan. Ujian Ketiga. Tiba-tiba, Satria melihat dirinya sebagai anak kecil terjatuh dari jurang, tangan ayahnya tak pernah datang menolong. Kemudian berubah menjadi dirinya sekarang, berlumuran darah, menatap Kiara yang mati di tangannya.
“Inilah kemungkinan yang kau bawa, jika kau tak kuat menahan warisan Mahesa,” desis Bayu.
Satria memejamkan mata.
Mengingat kata-kata Eyang Kala Kembara:
“Jangan pernah melawan gelapmu. Rangkul ia. Tapi jangan beri ia tahta.”
Satria membuka mata. Ia meraih bayangan kecilnya, memeluknya. Bayangan itu mencair menjadi cahaya.
Ilusi pun lenyap. Bayu terdiam. Untuk pertama kalinya, roh murid Mahesa itu… menangis beku.
“Ambillah pecahan itu… dan doakan aku bisa benar-benar mati.”
Pecahan Ketiga: Terangkat. Kiara melangkah ke pusaran cahaya biru di tengah sumur. Bola kristal hitam es muncul, berdenyut pelan. Saat disentuh, sumur itu terbalik kembali. Mereka melayang ke atas… dan keluar.
Tiga pecahan sudah dikumpulkan. Tapi waktu semakin menipis. Tujuh Pemecah Cahaya juga bergerak cepat. Sagara sendiri belum memberi kabar.
Kiara menatap bintang.
“Setiap pecahan kita temukan, aku semakin takut.”
“Takut kalau ternyata… dunia tidak siap untuk diselamatkan.”
Satria menjawab: “Maka biar kita siapkan diri untuk dunia… meski dunia tak menyiapkan tempat untuk kita.”
Bersambung ke Episode 26: Pohon Sungsang Rindu di Bukit Boneka…