Di Tempat Angin Tak Bisa Masuk. Terletak di ujung tebing Batu Tundra, berdiri sebuah bangunan yang seolah tak dibangun, melainkan tumbuh dari batu: Menara Buta Angin.

Menara ini tak memiliki pintu, tak memiliki jendela, dan tak bisa ditemukan oleh mereka yang masih menggunakan indera biasa. Ia hanya bisa dicapai oleh mereka yang berjalan dengan suara batin, bukan kaki.

Di sanalah tersembunyi Pecahan Kelima Mata Jiwa Mahesa. Dan di dalam menara, tinggal satu murid Mahesa yang paling misterius: Resi Tulasih. Pendekar yang telah membuang penglihatan, penciuman, pengecap, dan peraba… demi hanya mengandalkan pendengaran roh.

Satria, Kiara, dan Ujian Sunyi. Perjalanan menuju menara bukanlah soal arah, tapi diam. Setiap suara — obrolan, napas, bahkan detak jantung — membuat menara menjauh. Baru ketika Kiara memejamkan seluruh kesadarannya dan menggenggam pergelangan Satria, langkah mereka menjadi hening sempurna. Dan saat itulah… menara muncul. Tinggi, menjulang, seolah menusuk langit. Tak ada pintu, tak ada celah.

“Bagaimana masuk?” tanya Bagas, mulai frustrasi.

Kiara hanya berbisik, “Tutup mata kalian. Tutup indera kalian. Biarkan suara menara yang menarik.”

Satu per satu mereka menghilang dari dunia luar—disedot ke dalam pusaran sunyi.

Di Dalam Menara. Suara dari Masa Depan. Setibanya di dalam, mereka tak lagi di ruang biasa. Masing-masing terjebak dalam gema versi masa depan mereka sendiri. Satria melihat dirinya memimpin pasukan pendekar… menghancurkan kota.

Di matanya: dendam, bukan keadilan. Kiara melihat dirinya berdiri di puncak istana… tapi sendiri, buta, bisu, tuli. Dihormati, tapi dilupakan. Bagas melihat dirinya mati, ditikam oleh seseorang yang ia percayai sepenuh hati.

“Kau datang bukan untuk menyelamatkan dunia,” suara misterius bergema, “Tapi untuk menghindari kenyataan.”

Pertemuan dengan Resi Tulasih. Resi Tulasih muncul seperti angin yang tak pernah datang. Seorang lelaki tua kurus, matanya kosong, telinganya besar, tubuhnya tak bergerak, tapi suaranya… langsung menembus dada.

“Aku tak peduli siapa kalian. Tapi suara kalian telah mengganggu sunyi yang kujaga. Kenapa kalian ingin membawa kembali bagian jiwa Mahesa yang bahkan ia sendiri ingin lupakan?”

“Karena dunia tak boleh disetir oleh yang membenci. Dan hanya warisan Mahesa yang cukup kuat menahannya.”

Satria menjawab pelan.

Tulasih menyeringai samar.

“Lalu siapa yang akan menahan Mahesa jika dia sendiri ingin kembali?”

Diam. Tak ada jawaban. Tulasih lalu mengangkat tangannya. Di telapak tangannya, berputar seperti pusaran udara, muncul Pecahan Kelima Mata Jiwa Mahesa — ringan, tapi berdesing seperti peluit yang tak terdengar.

“Ambillah. Tapi ingat…Semua yang kalian dengar hari ini… akan jadi kenyataan… jika kalian gagal memaafkan satu hal: diri sendiri.”

Kembali ke Dunia Nyata. Satu per satu, mereka muncul kembali di tebing. Mata mereka merah, tapi bukan karena air mata. Karena suara-suara batin mereka sendiri kini tak bisa dibungkam lagi. Kiara memeluk dirinya. Bagas terduduk. Satria menatap cakrawala.

“Aku tahu sekarang,” ujar Satria.

“Yang paling berat bukan mengumpulkan pecahan. Tapi menghadapi kebenaran saat semua orang salah menilai siapa kita.”

Sementara Itu: Shinta Mengikuti Jejak Mereka Di balik bayangan, Shinta Chantika, CEO Widyawati Corp, menyamar sebagai pengembara dan telah mengikuti perjalanan mereka diam-diam. Ia tahu sesuatu yang tidak mereka ketahui: Seseorang dari Tujuh Pemecah Cahaya telah menyusup dalam lingkaran kepercayaan.

Dan jika tebakan Shinta benar… maka pengkhianat itu bukan hanya murid Mahesa—melainkan salah satu keturunannya.

Lima pecahan telah dikumpulkan. Dua lagi tersisa. Tapi perlahan, dunia silat mulai terbelah: Antara yang ingin Mahesa bangkit…dan yang ingin dunia terbakar agar bisa dilahirkan ulang. Satria kini tak hanya menghadapi murid-murid Mahesa. Tapi diri Mahesa sendiri yang mungkin tidak ingin ditemukan.

Bersambung ke Episode 28: Kolam Tak Bernama di Bawah Laut Pasai…