Ia masih 18 tahun. Muda taruna.

Di usia yang bagi sebagian orang adalah masa menulis puisi pertama, jatuh cinta diam-diam di bangku sekolah, atau bingung memilih jurusan kuliah, seorang remaja dengan inisial MAS ditangkap oleh Tim Densus 88 di , Sulawesi Selatan. Ia tak bawa senjata. Tapi bawa ide. Tentang jihad. Tentang kekhalifahan. Tentang surga yang dibeli dengan nyawa orang lain.

MAS, kata polisi, aktif menyebarkan ajakan bom bunuh diri lewat media sosial. Lewat ponsel Oppo A3X yang kini disita, dan sebuah sepeda motor Honda Blade yang menjadi bagian dari “barang bukti”. Sederhana. Biasa. Nyaris seperti anak-anak kebanyakan.

Tapi tidak. Ia punya dunia yang lain.

Di balik semua itu, ia diyakini sebagai bagian dari sesuatu yang lebih luas: jaringan ideologi kekerasan yang pernah mengirim anak-anak muda ke gurun Suriah. Atau ke hutan-hutan Poso.

Saya tak tahu siapa orang tua MAS. Apakah ia dibesarkan dalam keluarga yang hangat, atau yang sunyi? Apakah ia pernah punya guru yang mengajaknya berdiskusi tentang arti hidup, atau justru tumbuh dengan kemarahan yang tak pernah sempat dimengerti? Tapi saya tahu, tak ada anak yang tiba-tiba percaya bahwa membunuh adalah panggilan suci, tanpa sebelumnya merasa sendiri dalam dunia yang ramai.

Ia mungkin hanya anak yang tak punya ruang. Tak punya sahabat yang cukup peduli untuk bertanya: “Kau baik-baik saja?” Tak punya rumah yang cukup hangat untuk menjadi tempat berteduh dari dunia yang kejam.

Maka ia mencari. Dan seperti jutaan anak muda lainnya, pencarian itu dilakukan lewat layar 6 inci. Di sana, ia mungkin menemukan seseorang yang menyapanya “akhi”. Seseorang yang mengatakan “kami saudaramu, kau tak sendiri”. Seseorang yang menawarkan jawaban sederhana atas hidup yang rumit: perang adalah ibadah, bom adalah kunci ke surga, dan dunia ini, dengan semua ketimpangan dan kebisingannya, adalah musuh.

memang jauh, secara geografis. Tapi tidak secara ideologis.

Karena seperti yang kita tahu, sebelum ISIS menjadi kelompok bersenjata, ia lebih dulu menjadi sebuah narasi. Tentang kekalahan. Tentang dendam. Tentang utopia yang dijanjikan akan datang dengan darah.

Dan narasi itu hidup. Dulu di gurun-gurun Irak dan Suriah. Kemudian di hutan-hutan Poso. Kini, di sebuah permukiman Gowa.

Mujahidin Indonesia Timur (), kelompok bersenjata yang bertahan di hutan-hutan Poso selama lebih dari satu dekade, adalah cabang dari ide yang sama. Mereka bersumpah setia kepada ISIS. Mereka berperang dengan aparat, membunuh warga, dan merayakan kematian sebagai kemenangan. Mereka bukan pasukan besar, tapi cukup untuk memberi inspirasi. Cukup untuk membuat seorang remaja di Gowa berpikir bahwa jalan hidupnya adalah menjadi pembuka pintu surga.

Tapi saya ingin percaya bahwa MAS, anak 18 tahun itu, belum “hilang” sepenuhnya. Ia belum sempat meledakkan diri. Ia belum sempat melukai siapa pun. Ia masih bisa “dipanggil pulang”.

Tentu, proses hukum akan berjalan. Negara harus menegakkan hukum. Tapi kita, sebagai masyarakat, sebagai manusia, punya kewajiban yang lain: memahami. Bertanya. Mencari celah untuk mencegah agar tak ada lagi anak seperti MAS yang tumbuh diam-diam dalam gelap.

Sebab radikalisasi bukan hanya soal ideologi. Tapi soal keterasingan. Soal anak-anak yang dibiarkan tumbuh dalam sunyi, lalu disapa oleh orang-orang yang membawa ide beracun—tapi menyambut dengan pelukan yang hangat.

Apakah kita tahu bagaimana perasaan MAS sebelum ia ditangkap? Apakah ia bangga? Apakah ia takut? Apakah ia sempat ragu? Atau jangan-jangan ia hanya bingung, dan tak tahu harus pergi ke mana selain ke arah yang tampak seperti jalan lurus tapi sebenarnya menuju kehancuran?
Saya tak tahu. Tapi saya membayangkan: mungkin MAS hanya ingin merasa berarti.

Dan dalam dunia kita hari ini, di mana anak-anak dihujani iklan, diburu angka, dibanjiri tuntutan, rasa berarti di mata orang lain, bisa menjadi barang mewah.

ISIS, MIT, dan kelompok-kelompok sejenis tahu itu. Maka mereka menawarkan makna. Sebuah dunia dengan garis yang jelas antara kawan dan lawan. Antara surga dan neraka. Sebuah dunia tanpa kebingungan.

Tapi hidup tak pernah sesederhana itu.

MAS mungkin akan diadili. Tapi kita juga harus mengadili cara kita memperlakukan generasi ini. Kita harus menanyai ulang sistem pendidikan kita, ruang sosial kita, cara kita berinteraksi dengan anak-anak yang duduk di pojok ruang kelas, yang menunduk terlalu lama di kantin, yang diam saat ditanya.

Sebab bisa jadi, mereka tengah menunggu seseorang. Seseorang yang cukup peduli untuk bertanya. Seseorang yang cukup sabar untuk mendengar.
Dan sebelum mereka menjawab sapaan seorang perekrut jihad di ujung dunia sana, kita bisa lebih dulu mengulurkan tangan dan berkata:

“Kau tidak sendiri.”