Prof. Albert Grubauer, ahli hewan, ahli etnologi dan seorang pengumpul benda-benda seni asal Jerman pada 1911 mengunjungi Sulawesi Tengah kurang lebih tiga bulan setengah lamanya. Ia bertandang ke sejumlah wilayah di Lembah Palu, Poso dan Kulawi, Sigi. Salah satu benda yang menjadi catatannya adalah taiganja atau taijanja. Ini adalah ornamen atau perhiasan yang biasa dikenakan perempuan di Sulawesi Tengah sebagai medalion, kalung atau digunakan diikat tali dengan ketat di pinggang serta dijadikan anting.
Publikasinya tentang itu bisa dibaca di bukunya; Unter Kopfjägern in Central-Celebes, yang dalam Inggris diterjemahkan; Among head hunters in Central-Celebes. Sayangnya, ia tak memberi penjelasan memadai dalam foto taiganja di bukunyanya.
Barulah ketika Walter Kaudern bertandang ke sejumlah wilayah di Kulawi, Sigi dan Poso ada penjelasan memadai soal ini. Kaudern juga mendasarkan penjelasannya pada catatan Nicolaus Adriani dan Albert Christian Kruyt, dua ilmuwan sekaligus penginjil dari Belanda yang sudah duluan sampai ke Sulawesi Tengah. Ia juga memakai catatan Sarasin bersaudara, Fritz dan Paul untuk menjelaskan soal Taiganja. Kedua naturalis dan etnolog itu berasal dari Swiss.
Taiganja yang kerap dipakai sebagai hantaran perkawinan dan dipakai oleh perempuan ini berfungsi sebagai simbol kesuburan, kemakmuran, dan tolak bala. Umumnya dipakai oleh masyarakat di Lembah Palu, Pamona di Poso dan Kulawi di Sigi. Bahannya terbuat dari perunggu, kuningan, tembaga, perak dan emas. Bahan menentukan status sosial pemakainya. Jadi, selain berfungsi sebagai perhiasan, ini juga seperti amulet atau jimat.
Bila merujuk ke tradisi perlogaman di Sulawesi Tengah, khususnya pengukiran logam, kecil kemungkinan ini dibuat massal. Dibuat dengan teknik tuang. Di mana logam yang dipanaskan hingga mencair lalu dimasukkan dalam wadah cetaknya. Namun, jejak pembuatan Taiganja di Sulteng kini sulit ditemukan. Ini kemungkinan besar lebih banyak dibuat di luar Sulawesi Tengah. Dibawah oleh perajin dari daerah lain, utamanya Jawa lalu diperdagangkan di sini.
Sebuah temuan taiganja di Mihasa, Sulawesi Utara disebutkan berasal dari China. Ada pula yang ditemukan dipakai oleh masyarakat Batak di Sumatera Utara, bahkan ditemukan pula di Philipina.
Ini memang benda yang istimewa. Balai Lelang Danielle Elizabeth Auction di Miami, Quensland, Australia bahkan pernah melelang sebuah taiganja dengan kisaran harga A$80 – 140. Kali lain, pernah pula dilelang di ebay, situs e-commerce yang terkenal itu. Sejumlah lapak Indonesia seperti forum jual eli kaskus.co.id pernah pula menawarkannya.
Ada beragam tafsiran apa bentuk sesungguhnya taiganja itu. Suatu waktu dalam percakapannya dengan penduduk di Kulawi pada 1800-an akhir, Kruyt bertanya soal itu.
“Dua kait besar berbalik ke atas adalah tanduk kerbau, sementara kait di samping adalah penjepit kepiting.”
Begitu jawaban penduduk pada dia.
Ada juga yang menggambarkan motifnya seperti kepala naga yang sedang terbang, bila dilihat dari samping; dan bila dilihat secara vertikal seperti seekor burung dengan sayap yang terbentang lebar. Bila merujuk pada pengaruh Hindu atas Nusantara, maka orang menyebut bahwa benda istimewa ini seperti simbol lingga. Lingga adalah simbol kejantanan pria. Sedangkan Yoni, menggambarkan alat kelamin perempuan.
Kruyt juga menemukan benda ini dalam tradisi masyarakat Toraja, di Sulawesi Selatan. Di Sumba taiganja dikenal sebagai mamuli dan di Filipina disebut sebagai lingo. Masyarakat Batak menggunakan taiganja yang ukurannya lebih kecil sebagai anting. Kaudern mencatat setidaknya ada 10 motif ukiran taiganja.
Untuk lebih melengkapi pengetahuan Anda semua tentang benda unik dan istimewa ini ada baiknya ada membaca buku Walter Kaudern, Ethnographical Studies in Celebes, Results of the Author’s Expedition to Celebes 1917–1920, Volume 6, Art in Central Celebes. ***