Setiap Ramadan, ada satu tradisi yang selalu muncul tanpa perlu undangan resmi: takjil war, berburu takjil. Di trotoar, di lapangan parkir, di depan masjid, di gang-gang kecil yang mendadak berubah jadi pasar sore. Di sana, orang-orang berkumpul dengan satu tujuan sederhana; mendapatkan sesuatu yang manis atau gurih untuk mengawali buka puasa.
Tapi yang menarik, tak semua pemburu takjil itu berpuasa.
Di antara antrean yang mengular di lapak es buah atau pisang goreng, ada mereka yang sebetulnya tak punya kewajiban menahan lapar sejak pagi. Mereka yang oleh beberapa orang disebut sebagai nonis, non-Islam, adalah orang-orang Kristen, Hindu, dan Buddha. Mereka datang bukan untuk ikut berbuka, melainkan karena mereka memang suka bubur sumsum atau es cendol.
Dan tak ada yang merasa aneh.
Di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, atau Surabaya atau Makassar pemandangan ini bukan barang baru. Seorang pria Tionghoa yang sibuk memilih kolak? Biasa. Sekelompok remaja non-Muslim ikut antre di lapak pastel dan risoles? Wajar. Tak ada yang bertanya, “Kenapa mereka di sini?” karena, ya, kenapa tidak?
Toleransi, kalau dipikir-pikir, sering kali muncul dalam bentuk yang justru tak terasa seperti toleransi. Tidak perlu simbol, tidak perlu seremoni, tidak perlu deklarasi.
Di Yogyakarta, seorang teman Nasrani bercerita bagaimana setiap Ramadan ia dan beberapa kawannya—yang kebetulan mayoritas non-Muslim—menjadikan Pasar Sore Kauman sebagai agenda tahunan. Mereka tidak merasa sedang ikut dalam sebuah perayaan agama yang bukan milik mereka. Mereka hanya menikmati apa yang memang enak dan tersedia setahun sekali.
Di Makassar, seorang kenalan mengaku hafal jam buka puasa karena ia sering membelikan takjil untuk teman-temannya yang Muslim. “Bukan karena ingin dianggap toleran,” katanya sambil tertawa, “Tapi karena saya juga suka kue-kue itu.”
Di Semarang, banyak warga Tionghoa yang tumbuh dengan kebiasaan jajan di pasar Ramadan, bukan karena ada niat khusus, tapi karena mereka memang suka lemper, klepon, atau lupis yang dijual di sana.
Tak ada pretensi, tak ada pencitraan. Ini bukan soal “menghormati keberagaman” dalam arti yang sering kali digembar-gemborkan. Ini hanya kebiasaan, sesuatu yang mengalir begitu saja.
Dan justru karena itu, ia lebih jujur.
Toleransi sering kali terasa beban jika terlalu dikemas dengan slogan-slogan besar. Kita ingin ada acara lintas agama, ada foto-foto simbolis, ada pidato tentang persatuan. Padahal, yang paling nyata justru yang terjadi tanpa dipikirkan—yang bekerja dalam diam.
Di lapak takjil, orang-orang dari berbagai latar belakang berkumpul tanpa merasa perlu mendeklarasikan apa pun. Tak ada yang merasa sedang menunjukkan “toleransi yang luar biasa”. Mereka hanya ingin membeli gorengan dan es kelapa.
Tapi ada momen-momen kecil yang membuat semuanya terasa lebih hangat. Seperti ketika seseorang yang tak berpuasa sadar bahwa azan sebentar lagi berkumandang, lalu ia dengan alami memberi jalan kepada mereka yang butuh takjil lebih dulu. Atau ketika seorang penjual membagikan kurma gratis tanpa menanyakan agama pembelinya. Atau saat seorang teman non-Muslim membawa beberapa bungkus takjil untuk teman-temannya yang sedang puasa, bukan sebagai gestur toleransi, tapi karena ia tahu mereka akan senang menerimanya.
Tak ada kamera, tak ada dokumentasi, tak ada publikasi.
Kita sering kali bertanya-tanya bagaimana cara menjaga keberagaman. Mungkin jawabannya tidak harus selalu berupa sesuatu yang besar. Kadang, cukup dengan menikmati sepotong klepon di pasar Ramadan tanpa merasa itu adalah tindakan apa-apa. ***
*Mohammad Jafar Bua, Tenaga Ahli Anggota DPR RI, alumni Asia Journalism Fellowship (AJF) Singapura, 2019.