Hidup itu adalah helaian kenangan. Beberapa orang merasa perlu merawatnya pun mengabadikannya dengan pelbagai cara. Salah satunya adalah membangun monumen, arca atau lainnya. Niatnya mendekatkan kenangan dengan hidup keseharian. Kenangan itu kerap berkait kelindan dengan cinta kasih.
Tengoklah Taj Mahal di Agra, India. Bangunan yang sejatinya adalah makam ini dibangun pada 1623 oleh tak kurang 20 ribu pekerja dan arsitek. Selesai dikerjakan 22 tahun kemudian. Dibangun dengan marmer putih, berlian, kristal dan topaz.
Bangunan megah ini adalah ujud cinta abadi di Kesultanan Mughal. Adalah Shah Jahan dan istri ketiganya, Mumtaz Mahal sebagai pelakon utama.
Mumtaz adalah istri kesayangan Shah Jahan. Ia meninggal dunia saat melahirkan anak ke-14. Jahan sangat terpukul dan kehilangan sosok istri kesayangannya itu. Dia pun berjanji untuk tidak menikah lagi dan membangun makam terindah untuk tempat istrinya disemayamkan. Maka jadilah Taj Mahal yang kemegahannya bisa kita saksikan hingga kini.
Ada pula Taman Gantung di bekas Kerajaan Babylonia, Baghdad, Irak. Adalah Raja Babilonia, Nebukadnezar II yang mewujudkannya. Ia punya seorang istri dari Persia. Saban waktu menjalani hidupnya di Babilonia dalam kejenuhan. Ia ingin ada tanaman dan pepohonan yang rindang seperti di Persia, Iran. Nebukadnezar pun membangun taman gantung seluas 4 hektare. Sistim pengairannya pun ditata. Istrinya pun menilai ini adalah taman paling indah dari yang ada di Persia. Nama istri Raja Babilonia itu adalah Ratu Amiytis.
Yang paling dekat dengan kita adalah Masjid Masjid Nuruttaubah di Campalagian, Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Masjid ini dibangun atas kecintaan dan penghormatan pada K.H. Muhammad Thahir. Ia penyebar Islam dari Desa Lapeo. Karenanya Masjid yang terletak di poros Jalan Trans Sulawesi bagian Barat itu kemudian lebih dikenal sebagai Masjid Imam Lapeo.
Di Desa Jono Oge, Sigi, Sulawesi Tengah, sekira 12 kilometer dari Kilometer 0 Kota Palu, Ibukota Provinsi Sulawesi Tengah adalah pula bangunan yang menjadi wujud cinta kasih macam itu. Bangunan ini adalah Masjid Daeng Lando.
Bisa jadi tak semua orang tahu, siapa sosok yang menjadi nama masjid indah berkubah bulat dengan sudut delapan itu. Ujud cinta juga tanda bakti kepada Daeng Lando itulah yang menjadi alas niat membangun masjid ini.
Masjid ini mulai dibangun pada 2012. Luas bangunan mesjid 25 meter x 25 meter termasuk teras mesjid. Ditambah dengan halaman, luasnya menjadi 800 meter per segi. Pembangunan masjid ini menelan biaya sekira Rp2,5 miliar. Rampung setahun kemudian dan diresmikan oleh Longki Djanggola, sebagai Gubernur.
“Masjid ini dibangun oleh Yayasan Pendidikan Islam Modern Yoto Djanggola dengan dana dari keluarga dan sumbangan pihak lainnya,” kata Andi Ruly Djanggola, Sekretaris Yayasan ini.
Menilik nama Yayasan yang diketuai Dr. Junaedi, yang pernah menjadi Kepala Kantor Departemen Agama Sigi lalu ke Banggai, orang pun lalu mahfum. Ini pasti ada kaitannya dengan Longki. Ya! Daeng Lando adalah nama ayah Ketua DPD Partai Gerakan Indonesia Raya Sulteng ini. Lengkapnya Daeng Lando Yoto Djanggola.
Bila Yayasan dikelola oleh kerabat Djanggola, maka pengurus masjidnya adalah masyarakat setempat yang terdiri dari masyarakat asli Suku Kaili, Bugis dan Jawa. Sejak 2013 lalu, Imamnya adalah Ustadz Sabri, yang bersuku Kaili dan beristirikan perempuan Jawa, Urifatunnisah. Mereka adalah warga Desa Jono Oge, Sigi.
“Kami sebenarnya cuma ingin mewujudkan cita-cita ayah saya, Daeng Lando Yoto Djanggola untuk membangun masjid di lahan keluarga ini. Ini tanda cinta dan bakti kami delapan bersaudara untuk ayah kami. Almarhum juga berniat membangun lembaga pendidikan Islam modern di tempat ini. Itu semua kami wujudkan di sini,” kata Longki.
Pada 1990-an di lokasi ini memang cuma ada bangunan rumah inap milik kerabat Djanggola yang menjadi tempat shalat Tarawih saat Ramadhan tiba. Sekarang, kemudian dibangunkan masjid yang indah. Ruangan dalamnya dibuat tanpa tiang tengah, sehingga lebih lapang. Tempat wudhunya pun luas. Ada empat menara di tiap sudutnya. Arsitektur menaranya klasik. Persis menara masjid-masjid tua di Persia, Iran. Adapula beduk besar yang menjadi ciri khasnya. Beduk ini akan ditabuh usai adzan dikumandangkan.
Yang menarik pula ornamen arsitektur Masjid ini penuh dengan bintang bersudut delapan. Saluran udara di sekeliling kubah menyerupai bintang bersudut delapan. Kubahnya pun begitu. Bersudut delapan. Ternyata itu adalah makna kemakmuran Islam, sekaligus tanda bahwa Masjid ini dibangun oleh delapan saudara kakak beradik.
Iya. Longki memang bersaudara delapan orang. Longki adalah anak ke-enam. Berturut-turut adalah Datu Yoto Djanggola, Naning Tandapa’a Djanggola, Ghandi Djanggola, Lindajag Djanggola, Yahya Djanggola, Longki Djanggola, lalu Umar Pariusi Djanggola dan terakhir Derry Djanggola, yang pernah menjadi Sekretaris Daerah Provinsi Sulawesi Tengah. Mereka dan keluarga yang lainlah yang berjibaku mendukung pembiayaan pembangunan Masjid ini.
Ayah Longki, Daeng Lando adalah Pegawai di Kantor Bupati Kepala Daerah Donggala. Terakhir mendiang diketahui menjadi wakil Pemerintah Daerah Kabupaten Donggala di Parigi sekira 1960-an. Mendiang Daeng Lando Yoto Djanggola adalah putra dari Magau Djanggola, Raja Kerajaan Palu yang ke-11. Daeng Lando terlahir di Palu pada 1 Januari 1912. Mangkat di Palu pada 17 November 1996. Ia memperistri Hj. Aminah Pasung Manopo, perempuan kelahiran Motoboi, Kotamobagu, Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara.
Jadi tak salah bila kemudian disebut, Masjid Daeng Lando di Jono Oge ini adalah masjid perawat kenangan dan tanda cinta juga bakti delapan keturunan Daeng Lando dan Aminah.
Bila suatu waktu Anda dalam perjalanan melintasi Sigi, singgahlah di Masjid ini untuk menunaikan shalat bila waktunya sudah tiba. Mungkin pula sekadar merasakan bagaimana helaian-helaian kenangan dirawat dan tanda cinta juga bakti diwujudkan. ***