Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur mengkritik telegram Kapolri soal antisipasi unjuk rasa penolakan omnibus law. Isnur mengingatkan netralitas Polri.
Surat telegram Kapolri (STR) yang berisi perintah tentang antisipasi kegiatan demo atau aksi unjuk rasa buruh pada 6-8 Oktober mendatang terkait penolakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja, beredar di media sosial.
Belum ada keterangan resmi dan detail dari Polri tentang telegram tersebut.
Seorang pejabat di Mabes Polri hanya mengatakan Polri akan merilis dan menjelaskan maksud dan tujuan diterbitkannya telegram tersebut.
STR itu beredar di media sosial twitter yang diunggah oleh akun @AksiLangsung. Foto yang diunggah akun tersebut menampilkan sejumlah poin yang termaktub dalam Surat Telegram nomor STR/645/X/PAM.3.2./2020 yang terbit pada 2 Oktober 2020 dan ditandatangani oleh Asisten Kapolri bidang Operasi Inspektur Jenderal Imam Sugianto atas nama Kapolri.
“Secara tegas tidak memberikan izin kegiatan baik unjuk rasa maupun izin keramaian lainnya,” demikian salah satu poin telegram yang diunggah @AksiLangsung, Senin (5/10/2020).
Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengkritik telegram tersebut. Dia berpendapat telegram tersebut bermasalah. Kata dia, polisi tidak memiliki hak untuk mencegah unjuk rasa.
Selain itu, Isnur juga menyinggung tentang netralitas Polri.
Dia merujuk pada Undang-Undang 9 tahun 1998 yang menjelaskan bahwa seharusnya Polri memberi pelindungan keamanan saat pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum.
Dalam telegram yang beredar, dikatakan bahwa arahan itu keluar lantaran pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang masih mendapat penolakan dari beberapa elemen buruh dan masyarakat. Sehingga berdampak pada direncanakannya kegiatan dan isu unjuk rasa serta mogok kerja.
“Dalam rangka menjaga Sitkamtibmas yang kondusif serta antisipasi aksi unras dan mogok kerja yang akan dilakukan buruh pada tanggal 6-8 Oktober 2020,” demikian tertulis dalam telegram itu.
Kapolri meminta agar jajarannya mulai melaksanakan kegiatan dan fungsi intelijen serta mendeteksi secara dini aksi-aksi yang mungkin akan terselenggara. Hal itu dilakukan guna mencegah terjadinya unjuk rasa yang menimbulkan aksi anarkis dan konflik sosial. Pengalihan unjuk rasa yang dilakukan oleh kelompok buruh atau elemen aliansi lainnya untuk mencegah penyebaran virus corona (Covid-19).
Kepolisian juga diminta melakukan patroli siber untuk membangun opini publik.
“Lakukan kontra narasi isu-isu yang mendiskreditkan pemerintah,” perintah Idham dalam telegram.
Isnur mengatakan telegram tersebut merupakan bagian dari penyalahgunaan wewenang. Dia menuturkan bahwa tugas kepolisian sesuai dengan konstitusi adalah menjaga keamanan dan ketertiban.
Selain itu, kata ‘mendiskreditkan’ dalam telegram itu juga dinilai sangat subjektif sehingga berpotensi menghambat kritik publik kepada pemerintah.
“Tugas kepolisian menjaga keamanan dan ketertiban, bukan melakukan kampanye terhadap pemerintah,” ujar Isnur dalam keterangan resmi, Senin (5/10/2020).
Masih merujuk telegram yang beredar itu, disebutkan agar aparat kepolisian tidak melakukan pencegatan jalan tol sehingga dapat berimbas pada penutupan jalur tersebut.
Hal itu, dikhawatirkan Idham dapat memicu isu nasional dan internasional. Oleh sebab itu, upaya pengamanan harus dilakukan di hulu atau titik awal seluruh massa berkumpul.
Dalam telegram tersebut, Kapolri menegaskan agar aparat kepolisian melakukan penegakkan hukum terhadap pelanggaran pidana dengan menggunakan pasal-pasal yang termaktub dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan.
YLBHI mendesak agar Presiden sebagai pimpinan langsung Kapolri tidak mengganggu netralitas serta independensi yang harus diterapkan oleh institusi Polri.
“Meminta Presiden dan Kapolri untuk menghormati UUD 1945 & amandemennya serta UU 9/1998 yang menjamin hak setiap orang untuk menyampaikan aspirasinya termasuk pendapat di muka umum,” kata Isnur. ***