Dalam epos klasik Mahabharata, dikisahkan tak semua yang bersimpuh berarti tunduk. Tak semua yang datang membawa salam berarti membawa pesan politik. Dunia tak selalu terbaca dari isyarat lahiriah, sebab sering kali makna sebenarnya justru tersembunyi di balik gestur yang paling sederhana.
Simaklah kisah Bisma – tokoh paling rumit dalam Mahabharata. Seorang kesatria agung yang bersumpah setia pada tahta Hastinapura, tak peduli siapa pun yang duduk di atasnya. Ketika Duryodana, sang pangeran Kurawa yang pongah, merebut kekuasaan, Bisma tak pergi. Ia tetap memimpin pasukan. Tapi semua tahu: ia tidak sepenuhnya di sana. Ia tinggal karena sumpah. Karena keyakinan bahwa setia bukan selalu berarti sepakat.
Dalam dunia politik hari ini, barangkali kita menyaksikan bayang-bayang Bisma.
Ketika beberapa menteri Presiden Prabowo Subianto datang ke kediaman Presiden sebelumnya, Joko Widodo, di Solo saat Lebaran, ruang publik pun riuh. Apa artinya ini? Kenapa mereka – yang sekarang adalah bagian dari pemerintahan baru – masih menyebut Jokowi sebagai “bos”? Apakah ini tanda perpecahan? Manuver? Atau sekadar silaturahmi belaka?
Namun Prabowo memilih tenang. Lewat Ahmad Muzani, ia menyampaikan bahwa ia tak merasa terganggu. Bahkan, ia melihatnya sebagai bagian dari tata krama yang hidup dalam budaya kita.
“Lebaran,” katanya, “adalah momen untuk menghormati yang dituakan.”
Di sinilah letak keindahan tafsir. Apa yang oleh satu pihak dianggap manuver politik, oleh pihak lain justru dibaca sebagai etika timur. Prabowo bisa saja menafsirkan kunjungan itu sebagai bentuk pembangkangan. Tapi ia memilih jalan yang berbeda. Ia percaya pada kehalusan. Pada nilai. Pada diam yang memelihara keseimbangan.
Ada kebesaran di situ.
Mungkin saja, ia berpikir seperti Bisma – yang tak takut pada tafsir orang. Yang tahu bahwa dunia tidak sesederhana garis lurus antara ya dan tidak. Ia memahami, bahwa manusia bergerak bukan hanya oleh kekuasaan, tapi juga oleh rasa, oleh hubungan, oleh kenangan yang belum sempat pupus.
Sakti Wahyu Trenggono, Menteri Kelautan dan Perikanan, datang ke Jokowi dan menyebutnya, sambil bercanda, “masih bos saya”. Budi Gunadi Sadikin, Menteri Kesehatan, berkata hal serupa. Barangkali itu spontanitas. Barangkali itu bentuk hormat yang belum usai.
Tapi bukan berarti mereka lupa siapa presiden hari ini.
Mereka bekerja di bawah Prabowo. Dan tak ada tanda bahwa mereka tak menjalankan tugasnya. Justru sebaliknya: tak sedikit yang berkata bahwa menteri-menteri itu justru semakin aktif di bawah pemerintahan baru.
Apa yang ingin saya katakan adalah: kita terlalu mudah curiga. Terlalu cepat mengukur kesetiaan dari laku simbolik. Padahal hidup jauh lebih rumit dari itu. Dan Prabowo, saya yakin, tahu persis hal itu.
Dalam politik, yang penting bukan siapa yang kita kunjungi saat Lebaran, tapi siapa yang kita bela dalam kerja sehari-hari.
Saya percaya, seorang pemimpin sejati tak cemas pada gestur. Ia tak merasa ancaman hanya karena ada orang lain yang disebut “bos”. Sebab ia tahu, bahwa rasa hormat bukan barang yang bisa direbut. Ia tumbuh. Ia dirawat. Ia hadir dalam kepercayaan.
Dan mungkin, Prabowo sedang merawat itu semua – dengan tidak berkata banyak. Dengan membiarkan hubungan manusia mengalir sebagaimana mestinya. Karena ia tahu: hanya pemimpin yang rapuh yang gelisah oleh hal-hal kecil.
Ia tidak takut dibayangi masa lalu. Ia justru menjadikan masa lalu sebagai bagian dari narasi besar kepemimpinan hari ini.
Saya kira, dalam diamnya, kita melihat Prabowo sedang belajar satu hal penting: bahwa memimpin bukan tentang mengatur arah pandang orang lain. Tapi tentang menjaga agar jalan tetap terbuka untuk semua rasa hormat, bahkan yang tak tertulis.
Karena pada akhirnya, kita tak hanya diingat dari jabatan yang kita pegang. Tapi dari cara kita memahami manusia – dalam kompleksitasnya, dalam kesetiaannya yang tidak selalu lantang, dan dalam keheningan yang justru lebih jujur.
Bisma tahu itu.
Dan barangkali, Prabowo juga. ***