Pada 1910, Johan Christoffel Darmeijer seorang pengurus Verenigde Oostindische Compagnie (VOC), Kamar Dagang Hindia Belanda membuat foto To Bayasa atau To Lenda – lelaki yang meniru sifat perempuan baik dalam laku, pakaian, maupun dandanannya. Kita biasa menyederhanakannya dengan sebutan Bencong atau Bencis.

Foto jepretan Darmeijer itu kini menjadi koleksi digital KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal –, Land – en Volkenkunde) yang juga dikenal sebagai The Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies di Leiden University, Belanda.

Mereka bukan orang sembarangan. Mereka saat itu adalah semacam orang suci atau dukun utama dari upacara adat Balia. Bersama mereka ada pula perempuan-perempuan yang tak lagi mengalami haid. Sebab ini adalah ritual yang butuh kemurnian dan kebersihan. Saat itu, Darmeijer membuat foto lima To Lenda di Bora, Sigi. Orang Belanda di masa itu menyebut mereka sebagai ‘pendeta’ atau ‘orang suci’. Sebab merekalah yang selalu memimpin upacara-upacara ritual adat penting saat itu.

Ternyata tradisi To Bayasa itu hidup seiring sejarah tua Sulawesi Tengah. Bedanya adalah dulu mereka berperan utama dalam ritual-ritual adat, kini lebih banyak sebagai penata rambut, penata pengantin, perencana perkawinan atau lainnya. Dulu mereka dimuliakan, sekarang dianggap warga kelas dua atau (mungkin) tiga dan seterusnya.

To Bayasa atau To Lenda dari Bora, Sigi pada 1910.

Di kebudayaan Bugis, di Sulawesi Selatan dikenal pula To Bayasa ini. Di Tanah Bugis disebut sebagai Bissu.

Bissu adalah kaum pendeta yang gendernya dipandang sebagai campuran laki-laki dan perempuan dalam masyarakat Bugis dari Sulawesi Selatan, Indonesia. Golongan Bissu juga mengambil peran gender laki-laki dan perempuan dan dilihat sebagai separuh manusia dan separuh dewa, bertindak sebagai penghubung antara kedua alam manusia dan alam dewata.

Kata Bissu sendiri berasal kata bessi yang berarti bersih. Mereka disebut Bissu karena tidak berdarah, suci (tidak kotor), tidak menyusui, dan tidak haid. Ada kemungkinan kata Bissu berasal dari kata Bhiksu (pendeta atau pimpinan agama Budha).

Pada masa pra Islam agama Budha sudah berkembang di lingkungan masyarakat Bugis, sehingga ada kemungkinan bahasa Sanskerta juga meresap ke dalam bahasa Bugis. Hal ini juga ditandai oleh fungsi Bhiksu yang hampir sama dengan Bissu.

Menurut Sharyn Graham, seorang peneliti di University of Western Australia di Perth, Australia, seorang Bissu tidak dapat dianggap sebagai banci atau waria, karena mereka tidak memakai pakaian dari golongan gender apa pun namun setelan tertentu dan tersendiri untuk golongan mereka.

To Bayasa di Sigi sungguh kepingan-kepingan sejarah yang begitu menarik, unik dan istimewa. Sungguh negeri kita sangat kaya akan budaya dan tradisi. Sayangnya, kepingan-kepingan itu terserak di mana-mana. Saatnya untuk dihimpun kembali menjadi utuh sebagai warisan peradaban dan simbol kejayaan masa lalu. ***