Irjen Agus Nugroho, Kapolda Sulawesi Tengah yang menjadi sorotan sejumlah pihak lantaran menyebut kasus yang dialami gadis berusia 16 tahun di atau rudapaksa tetapi persetubuhan di bawah umur.

Seperti diberikan sebelumnya, korban berinisial R disetubuhi oleh 11 pria berkali-kali hingga mengakibatkan infeksi pada organ reproduksinya.

Sejauh ini Polda Sulteng telah menangkap 7 dari 11 tersangka. Namun Kapolda Sulteng Irjen Agus Nugroho justru membuat statemen yang menjadi sorotan luas.

Pasalnya, mengatakan bahwa unsur konstitutif di dalam kasus pemerkosaan itu adanya tindak kekerasan ataupun ancaman kekerasan memaksa seorang wanita untuk bersetubuh dengannya di luar perkawinan berdasarkan pasal 285 KUHP.

“Saya berharap mulai hari ini kita tidak lagi memberitakan dengan menggunakan istilah pemerkosaan ataupun rudapaksa,” ucapnya saat konferensi pers di Mako Polda Sulteng, Jl Soekarno Hatta, Kelurahan Tondo, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu, Rabu (31/5/2023) lalu.

Dikatakannya, tindak pidana Persetubuhan anak di bawah umur itu tidak dilakukan secara bersama-sama.

Sebab sambung Agus, modus para pelaku menyetubuhi korban dengan cara bujuk rayu, tipu daya, iming-iming dengan memberikan sejumlah uang, barang baik berupa pakaian handphone dan ada di antara pelaku yang berani menjanjikan akan bertanggung jawab.

“Kasus itu terjadi sejak April 2022 sampai dengan Januari 2023 dan dilakukan di tempat yang berbeda-beda dalam waktu yang berbeda-beda,” ujarnya.

Statemen Kapolda Sulteng tersebut lantas menuai kontra tidak hanya dari para netizen.

Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar ikut menyoroti pernyataan Kapolda Sulawesi Tengah (Sulteng) Irjen Agus Nugroho.

Ditegaskan Abdul Fickar Hadja, kasus tersebut tetap pemerkosaan.

“Ya betul (pemerkosaan). Pak kapolda ‘kurang piknik',” ujar Fickar, Jumat (2/6/2023) seperti dilansir Tribun Bengkulu.

Menurut Fickar, seorang penegak hukum seharusnya melengkapi pengetahuannya dengan ilmu penunjang lain, seperti sosiologi dan antropologi.

Sehingga, ketika polisi memeriksa suatu kasus atau peristiwa, maka akan banyak perspektif yang didapat untuk membantu pengusutan sebuah kasus.

Fickar menilai, mengingat korban yang diperkosa merupakan anak di bawah umur, maka di situ terjadi suatu pola yang tidak seimbang.

“Pola relasi laki-laki dan wanita, terutama yang belum dewasa, itu ada kecenderungan terjadinya pola relasi yang tidak seimbang, baik secara psikologis, fisik, maupun ekonomis,” tuturnya.

Lalu, Fickar menyoroti pernyataan Kapolda Sulteng yang mengatakan tidak ada unsur pemaksaan oleh para tersangka terhadap anak berusia 16 tahun itu.

Kapolda Sulteng mengatakan korban berusia 16 tahun tersebut diiming-imingi, dibujuk, dan dirayu oleh para tersangka.

Fickar menegaskan, pemaksaan tidak melulu melalui fisik, melainkan bisa juga dipaksa lewat psikis.

“Artinya potensi ini bisa terjadi jika terjadi persinggungan, karena itu pemaksaan bisa terjadi tidak dalam bentuk fisik, tapi lebih psikis. Di sinilah letak pemaksaan itu, apalagi dilakukan oleh banyak orang yang salah satunya anggota polisi,” jelas Fickar.

Maka dari itu, kata dia, ketika korban wanita itu masih belum dewasa, maka yang terjadi adalah perkosaan, karena pasti ada unsur paksaannya.

Fickar mengatakan, apabila menggunakan terminologi persetubuhan, maka memang benar tidak ada pelanggaran hukum pidananya, sepanjang dilakukan oleh orang dewasa.

Namun, akan berbeda jika sang wanita belum dewasa.

Maka apapun alasannya, itu merupakan pemaksaan atau perkosaan karena terjadi pola relasi yang tidak seimbang.

“Ketidakseimbangan itu ada secara alamiah bagi wanita yang belum dewasa, yang belum bisa sepenuhnya berdaulat untuk dapat menentukan dan mengukur untung ruginya, melakukan perbuatan orang dewasa,” imbuhnya. ***

Ikuti jafarbuaisme.com di Google News.