Harumnya dupa yang membius hidung. Warna-warni nan memikat mata. Lantunan doa yang menenangkan hati. Lalu irama bahasa yang mendayu seperti lagu. Dan rinai hujan di paruh Juli 2019 itu menghadirkan rimansa nostalgia di hati dan pikiran Ashwini Shrivastava.

Jurnalis belia ini tengah berada sejauh lebih dari 2 ribu mil dari tanah kelahirannya, New Delhi, India. Ya, dia tengah berada di Little India. Ia berdiri di tempat bermukimnya komunitas etnik India di Singapura.

“Little India benar-benar mencerminkan sebagian besar esensi India bagi saya,” begitu kata Assistant Editor, Press Trust of India ini. 

Sembari terus melangkah, Ashwini menengadah. Ia tampak berusaha menyesap wangi dupa dan bebungaan di sepanjang jalan. Saya pun menyontohinya. Menarik nafas dalam-dalam, menyesapi wangi dupa beraroma aneka rempah. Saya serasa terbawa ke dalam suasana magis.

Kian kita menapak di sepanjang Little India suasana yang ramai namun menenangkan begitu terasa. Ini sepotong Tanah Hindustani yang diberkahi Tuhan lalu jatuh di Singapura. 

Kuil Sri Veeramakaliamman yang berdiri kokoh di tengah Little India pun menambah romansa Hindustan. Kuil ini didirikan untuk pemujaan kepada Dewi Kali, Sang Penghancur Kejahatan. 

“Ini benar-benar sepotong India di Singapura. Ada kuil, masjid dan orang-orang yang berbahasa India yang bisa saya temui. Ini semua membawa ingatan saya jauh ke kampung halaman,” aku Ashwini.  

Romansa nostalgik semisal itu tak cuma dialami Ashwini. Saddia Mazhar, Correspondent, Daily Parliament Times, Islamabad pun merasakan hal sama.

Bila Ashwini beragam Hindu, Saddia beragama Islam, namun ingatan mereka pada kampung halaman yang berada dalam satu daratan menyatukan mereka. 

“Saya merasa seperti berada di surga pada kunjungan saya untuk pertama kali di Little India. Saya bisa mencium aroma rempah-rempah, sayuran dan terutama makanan kami sehari-hari. Ya, India kecil adalah tempat yang menggambarkan budaya sejati India,” kata Saddia pada saya di suatu waktu. 

Bagi saya yang suka memasak, Little India juga adalah surga. Pasar sayuran dan buah segarnya begitu menarik hati. Segala sayuran dan buah tropis dapat dengan mudah kita temui di sana. Harganya pun murah. 
Ada daun kelor, drum stik, terong aneka warna, mangga, jeruk dan durian tersedia di sana.

Di bawah meja-meja tempat menggelar dagangan itu, sepotong dua dupa dinyalakan. Wangi dupa menyelusup ke segala arah. Ditambah lagi dengan bebungaan yang diurapi dengan aroma rempah-rempah. 

“Ini adalah contoh sempurna tentang bagaimana seseorang dapat membawa orang India keluar dari India namun tak dapat mengeluarkan India dari orang India. Yang mereka adalah berusaha membangun komunitas kecilnya yang tertata rapi di tanah yang jauh dari kampung halaman mereka,” sambung Jayshree Pyasi, Staff Reporter, Mint, HT Media dari Mumbai. 

Ketiga jurnalis ini berasal dari tanah di daratan yang sama dan diikat oleh budaya yang sama, meski mereka berbeda agama. 

Adapun Little India yang tengah saya kisahkan ini adalah distrik etnis di Singapura. Terletak di sebelah timur Sungai Singapura — di seberang Chinatown dan di utara Kampong Glam. Kedua area tersebut merupakan bagian dari area perencanaan Kota Rochor. Komunitas Indian di Singapura menyebutnya sebagai Tekka.

Wilayah ini terbentuk dari kebijakan segregasi etnis Pemerintah Kolonial Inggris kala itu. Namun, ketika area itu menjadi lebih ramai dan persaingan tanah meningkat, banyak etnis India pindah ke tempat yang sekarang dikenal sebagai Little India.

Saya yakin bila suatu waktu Anda melancong ke Singapura, Anda pasti akan menyempatkan diri datang menengok Little India. Aroma dupa dan wangi aroma makanannya bukan sesuatu yang mudah dilupakan begitu saja. Saya sendiri pun jatuh hati padanya. Ada sepotong hati yang tertinggal di sana. ***