Mengisahkan keelokan Danau Lindu seperti mengingat kala jari jemariku bermain di anak rambutmu yang disapu angin. Entah siapa yang lebih elok, dirimu atau Danau yang terletak di jantung belantara ini. Tak berani saya memastikannya. Apalagi bila mengatakannya di hadapanmu. Jadi biarlah saya menuliskannya di sini.

Bermula dari legenda Sawerigading, pangeran tampan dari Tana Luwu, Sulawesi Selatan, ku tuliskan kisah tentang surga tersembunyi di belantara ini. Legenda ini dituliskan dalam Epos Lagaligo, manuskrip mitologi yang lahir dari peradaban masyarakat Bugis yang panjangnya melebihi Mahabharata. Epos ini diperkirakan mulai ditulis antara abad ke-13 dan ke-15 menggunakan aksara Lontara dalam bentuk puisi berbahasa Bugis kuno. Saya akan menuliskan ini di lain waktu.

Konon, Sawerigading mendengarkan kisah cantiknya penguasa Kerajaan Sigi, Nggilinayo. Penguasa perempuan itu belum pula menikah. Sawerigading pun berhasrat mempersunting sang ratu. Sekembalinya dari pelayaran ke China, ia kemudian menuju Pudjananti di Banawa Donggala. Lalu berlayar lagi menuju Bangga yang ketika itu menjadi pusat kerajaan Sigi.

Ia pun bertemu Sang Ratu. Perempuan cerdas itu menerima kedatangan Sang Pangeran Tampan ini, namun untuk meminangnya, ia mengajukan taruhan. Ia minta ayam Sang Pangeran diadu dengan ayam jagonya. Bila ia kalah, maka akan menerima tawaran itu. Sayang, adu ayam jago itu urung terlaksana.

Penyebabnya adalah karena ulah Labolong, anjing hitam milik Sang Pangeran yang berkelahi dengan Lindu, belut raksasa yang menyebabkan ia terperosok. Perkelahian mereka kemudian menimbulkan ceruk dalam di rupa bumi. Ada yang menjadikan Sungai lalu Danau Lindu.

Setelah adu ayam batal dan ia tak bisa memboyong Ratu Nggilinayo, Sawerigading pun pun pulang.

Dan tersisa kini adalah keelokan di belantara itu. Danau Lindu memang elok, tapi sekali lagi saya tak mau mengatakan mana yang lebih elok, dirimu atau danau ini.

Dalam sejumlah referensi, disebutkan danau tektonik ini terbentuk selama era Pliosen setelah bak besar dilokalisasi dari sebuah bagian rangkaian pegunungan akibat dari proses alam berupa kekuatan geologis dahsyat yang diyakini sebagai gempabumi. Sebab memang secara geologi Danau ini berada di Sesar Palu-Koro. Sesar ini adalah patahan yang membelah Sulawesi menjadi dua, dimulai dari batas perairan Laut Sulawesi dengan Selat Makassar hingga ke Teluk Bone. Sesar ini dikatakan sangat aktif hingga pergerakannya mencapai 35 sampai 44 milimeter per tahun.

Danau Lindu dikelilingi oleh sejumlah gunung seperti Gunung Nokilalaki (2.357 m), Gunung Lantawungu (2.270 m) dan Gunung Tumawu (2.120 m). Terdapat 16 sungai utama yang mengalirkan air ke danau ini. Empat di antaranya yang terbesar yaitu Sungai Kati, Sungai Lambosa, Sungai Langko dan Sungai Wongkodono. Sedangkan saluran keluar danau ini melalui Sungai Rawa yang kemudian masuk ke Sungai Gumbasa, anak Sungai Palu.

Danau Lindu ini terletak di kawasan Taman Nasional Lore Lindu, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Lokasinya bisa ditempuh dengan sepeda motor dan cocok pula untuk penyuka olahraga bermotor di alam bebas atau trabas.

Bagi penyuka fotografi, ini tempat yang sangat tepat. Pemandangan alamnya sungguh memesona. Bagi penikmat seni budaya, ini adalah tempatnya juga. Kita benar-benar bisa menikmati pesona negeri di tengah belantara.

Ketika masih aktif menulis untuk detik.com, saya beberapa kali ke sana. Terakhir kali saya menjejakkan kaki di Danau Lindu pada 2017. Saya menyarankan dari Palu berangkat pada pagi hari. Dari Palu kita menuju Sadaunta. Kita bisa menumpang kendaraan umum atau kendaraan sendiri. Bila membawa mobil, kita bisa menitipkannya di sini.

Jaraknya dari Palu sekitar 62 kilometer. Pada kedatangan saya di 2017, Saya menumpang ojek sepeda motor dari Sadaunta, sebab saat itu untuk menuju ke Danau Lindu, cuma itu moda transportasi yang ada. Sewanya antara Rp80 ribu – Rp150 ribu sekali jalan. Jarak dari Sadaunta ke tepian Danau Lindu kurang lebih 20 kilometer. Melalui jalan sempit, berlumpur dan penuh longsoran.

Para pemilik ojek sepeda motor sudah memodifikasi kendaraan mereka. Bannya diganti dengan ban bergerigi seperti sepeda motor trail. Girnya diganti dengan yang lebih besar sehingga tidak bisa mundur sendiri ketika berhenti.

Selain membonceng manusia, mereka juga membawa barang-barang milik penduduk di kawasan Danau Lindu yang dipercayakan pada mereka untuk diangkut. Caranya diikat dengan cermat di rangka tengah sepeda motor, dan juga di sadelnya.

Paling banyak dalam sehari mereka melayani penduduk sekitar danau sebanyak dua trayek. Perjalanannya ditempuh selama sejam.

“Bisa dua kali trayek saya layani. Penumpang dan barang itu sama. Delapan puluh ribu rupiah,” kata Jafar, salah seorang pengojek pada saya saat itu.

Menjadi penumpang sepeda motor ojek menuju Danau Lindu juga menyisakan kenangan sendiri. Kita harus erat-erat memegang pinggang pengendaranya. Sebab, meski jalanan sempit, mereka tetap melaju. Belum lagi suara klakson yang terus dibunyikan untuk memberi tanda bagi kendaraan dari atas atas.

Setelah melewati perjalanan sejam lamanya, kita memasuki desa pertama, yakni Desa Puro’o. Jalanannya mulai datar.

Kabarnya, saat ini jalan menuju Danau Lindu sudah beralas beton. Kendaraan roda empat pun sudah tembus. Namun saya belum sempat lagi ke sana setelah 2017 itu.

Sekadar jadi catatan, ada lima desa di kawasan itu, yakni Puro’o, Langko, Tomado, Anca, dan Olu. Untuk menuju Olu, di seberang Danau lindu hanya bisa ditempuh dengan jukung. Ini adalah perahu nelayan tanpa cadik atau kapal penyeberangan bermotor.

Berdasarkan catatan sejarah yang ada, desa-desa di kawasan Danau Lindu sudah mulai terbentuk sejak abad ke-17. Saat itu pemerintah kolonial Belanda menguasai beberapa wilayah di Sulawesi Tengah termasuk wilayah yang kini masuk dalam kawasan Kecamatan Lindu ini.

Pada 1900-an, desa-desa di wilayah itu kemudian ditata kembali. Sehingga terbentuk menjadi empat desa dan kini kemudian lima desa. Kawasan ini merupakan permukiman dalam wilayah Taman Nasional Lore Lindu yang menyimpan keragaman flora dan fauna khas Sulawesi.

Sebagai wilayah dengan kekerabatan adat budaya, maka beragam atraksi budaya bisa kita saksikan di sini. Apalagi kalau kita datang bersama orang yang mereka tuakan. Salah satunya adalah tradisi penyambutan tamu Potandui. Di mana tetamu akan dikenakan siga atau ikat kepala adat. Lalu disambut dengan nyanyian lagu-lagu setempat oleh para pemuda-pemudi To Lindu atau anak-anak.

Kemudian diterima di Pogombo Ada atau balai pertemuan adat dengan prosesi awal menginjak dulang sebagai tanda penerimaan tamu atas adat setempat. Setelah itu barulah kita dipandu mengitari Danau Lindu dengan perahu penyeberangan di dermaga rakyat setempat.

Danau seluas lebih dari 3.000 hektare ini terletak 1.000 meter di atas permukaan laut. Danau tektonik ini menjadi beranda lima desa di wilayah itu. Danau lindu menyimpan potensi sumber protein, berupa ikan mujai, nila dan ikan lokal lainnya. Hutan-hutan di sekitarnya menyimpan keragaman flora dan fauna endemik pula.

Salah satu tempat yang menarik dikunjungi di kawasan Danau Lindu adalah Makam Maradindo, leluhur Suku lindu yang panjangnya tujuh meteran. Konon, tinggi leluhur To Lindu 7 meteran. Ia dimakamkan di sisi danau bagian selatan di dalam peti kayu bulat. Ia dipercayai menjaga anak keturunannya yang bermukim di kawasan ini.

Suatu waktu, bila anda sempat berkunjung ke sini, cobalah pula kuliner khasnya. Ada ikan mujair bakar rica-rica khas Lindu. Jadi kita bisa menikmati pesona negeri di rimba di belantara ini juga menyicipi kuliner khasnya bila punya waktu panjang.

Sebaiknya berkunjung ke sini di saat akhir pekan dengan berangkat pada Sabtu pagi lalu kembali pada Minggu sore.

Saya pun ingin mengulang kenangan bersamamu di sini. Sudah puluhan tahun lamanya kita tak bersua. Kala itu jari jemari kita masih bertautan. Sayang, jejakmu kini tak dapat ku inderai lagi. Biarlah aku mengakui, keelokan Danau Lindu tak kalah oleh keelokanmu. ***