Bila berbicara tentang keragaman budaya di Nusantara, aksara menjadi salah satu elemen yang membedakan dan memperkaya identitas suatu suku. Jawa memiliki aksara Hanacaraka, dengan Lontara, dan Melayu dengan huruf . Namun, di tengah keunikan budaya , suku Kaili, salah satu suku terbesar di provinsi ini, tidak memiliki aksara suku sendiri. Mengapa demikian?

Masyarakat Kaili mengandalkan kekuatan tradisi lisan atau tutura — secara harafiah cerita dari mulut ke mulut — dalam kehidupan sehari-hari. Cerita rakyat, , hukum adat, hingga pengetahuan umum disampaikan dari generasi ke generasi tanpa memerlukan medium tulisan. Tradisi lisan ini bukan sekadar cara berkomunikasi, melainkan menjadi jantung budaya yang hidup di antara mereka.

Sejarah panjang masyarakat Kaili menunjukkan bahwa mereka lebih menekankan pada penyampaian verbal, di mana ingatan kolektif dan narasi turun-temurun memainkan peran kunci dalam mempertahankan identitas budaya. Dalam masyarakat Kaili, seorang pencerita atau to potutura dianggap sebagai penjaga tradisi yang sangat dihormati. Mereka adalah pelaku utama dalam menyebarkan cerita dan pengetahuan tanpa harus mencatatnya dalam bentuk tertulis. Hal ini menjadi salah satu alasan utama mengapa aksara tidak berkembang dalam budaya Kaili.

Berbeda dengan suku-suku lain di Indonesia yang menerima pengaruh dari kebudayaan besar seperti Hindu, Buddha, dan Islam, yang membawa serta kebutuhan akan pencatatan teks suci atau administrasi kerajaan, suku Kaili relatif lebih terlambat terpapar oleh pengaruh luar. Wilayah Sulawesi Tengah tidak menjadi pusat kekuasaan besar yang memerlukan sistem administrasi rumit, seperti kerajaan-kerajaan di Jawa atau Bugis. Karena itu, aksara lokal tidak menjadi kebutuhan mendesak.

Ketika Islam mulai masuk ke wilayah Kaili, budaya dan tradisi lisan sudah begitu kuat, sehingga keberadaan agama baru ini tidak serta-merta mengubah pola komunikasi tradisional mereka. Bahkan ketika pengaruh kolonial Belanda menyebar di Nusantara, fokus pada tradisi lisan tetap mendominasi, sementara aksara Latin diperkenalkan untuk keperluan administrasi dan pendidikan formal.

Era Modern dan Dokumentasi Budaya

Di era modern, meski aksara lokal tidak pernah ada, upaya untuk melestarikan bahasa dan budaya Kaili terus dilakukan. Banyak akademisi, budayawan, dan pemerhati budaya yang mendokumentasikan bahasa Kaili dengan aksara Latin. Ini adalah langkah penting dalam menjaga warisan budaya mereka di tengah arus globalisasi yang semakin kencang.

Dalam konteks ini, ketiadaan aksara bukanlah tanda kekurangan budaya, melainkan penanda kekuatan tradisi lisan yang masih relevan hingga kini. Bahasa Kaili yang terdokumentasi dalam aksara Latin menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini, memungkinkan generasi muda tetap terkoneksi dengan akar budaya mereka.

Walaupun suku Kaili tidak memiliki aksara seperti suku-suku lain di Indonesia, mereka tetap memegang teguh warisan budaya mereka melalui kekuatan tradisi lisan. Dalam dunia yang semakin mengandalkan teks dan digitalisasi, masyarakat Kaili menunjukkan bahwa memori kolektif dan narasi lisan tetap bisa menjadi pilar identitas budaya yang kokoh. Ketiadaan aksara tidak mengurangi kekayaan budaya suku Kaili, melainkan memperlihatkan bagaimana mereka telah menemukan cara unik untuk menjaga, merawat, dan meneruskan warisan mereka ke generasi berikutnya.