Kapal SS Oranje Nassau berangkat dari Surabaya menuju Amsterdam dalam perjalanan panjang yang terakhir sebelum perang meletus di Eropa. Di dalam kabin kelas dua, seorang perempuan muda berkebaya duduk memandangi laut malam. Namanya Nadya, seorang zeebaboe yang baru pertama kali menginjak kapal besar. Tapi bukan kisah Nadya yang ingin disampaikan malam itu, melainkan kisah hantu.
Kapten kapal sudah lama diberi tahu: jangan pernah membiarkan kabin nomor 14 kosong. “Arwah suka menempatinya,” kata petugas lama sambil menanduk gelas kopi. “Dia perempuan. Timur. Wajahnya pucat. Rambutnya menutupi mata.”
Tapi malam itu, kabin 14 memang kosong.
Angin laut menggigit dan bulan tersembunyi di balik kabut. Di rumah kecilnya di Leiden, Sara – dulu Sari – terbangun dari tidurnya. Ia merasa sesak. Tangannya gemetar. Ia tahu malam itu bukan malam biasa.
Dalam mimpinya, ia mendengar suara yang sudah lama ia kenal: suara Lastri.
Tapi suara itu berbeda, parau, jauh, seperti datang dari balik dinding kapal.
“Sara…”
“Kau bahagia, bukan?”
“Tolong… jangan biarkan mereka melupakan kita…”
Sara terbangun dengan air mata. Ia berlari ke loteng, membuka peti tua yang berisi kain batik, foto hitam-putih, dan sehelai surat Lastri yang lusuh. Ia menatap tulisan itu lama sekali. Lalu malam itu, ia menyalakan lilin dan mulai menulis.
“Kepada siapa pun yang membaca ini…
Kami adalah perempuan dari lautan. Kami datang untuk mengasuh anak-anak kalian. Tapi kami juga perempuan yang bermimpi, yang mencinta, yang menangis dan menggugurkan diri di tanah asing.”
“Tolong… jangan jadikan kami hanya cerita kabin.”
Di kapal SS Oranje Nassau, petugas menemukan sesuatu pagi harinya. Di atas ranjang kabin 14, ada bunga melati yang masih segar. Dan di cermin kabin, tercetak uap samar tulisan berbahasa Jawa:
“Aku bukan arwah. Aku adalah sejarah.”