Pegunungan Kembar. Lembah Sunyi, Tiga Hari Setelah Ledakan.
Satria berjalan menembus kabut pagi menuju tempat yang tak pernah ia ceritakan pada siapa pun. Sebuah goa tersembunyi di bawah celah Pegunungan Kembar—tempat Eyang Kala Kembara pernah berkata:
“Bila hatimu bimbang dan darahmu saling menolak, datanglah ke sini. Di sanalah kau akan diuji.”
Dan kini, darah Satria sedang bergejolak. Ia bukan hanya keturunan Kartika Larasati—pendekar cahaya. Tapi juga Mahesa Widjaya—pendiri kegelapan. Dua darah mengalir di tubuhnya. Dan ia harus memilih.
Ritual Penentu: Gerbang Langit Madya.
Goa itu tak sekadar tempat meditasi. Di dalamnya terdapat Lingkaran Batin Tujuh Titik, semacam altar spiritual yang hanya bisa diakses oleh pendekar yang telah mencapai Pendekar Langit Muda. Setiap titik adalah fragmen dari elemen diri: kemarahan, cinta, kesedihan, takut, niat, keyakinan, dan tujuan.
Satria duduk bersila. Ia meletakkan cincin giok merah di tengah lingkaran. Cahaya mulai menyala dari batu itu, menyentuh dinding goa dengan bayangan-bayangan bergerak.
“Tunjukkan… siapa aku sebenarnya.”
Ilusi Jiwa: Mahesa dan Kartika.
Kabut batin memenuhi pikirannya.
Satria berdiri di antara dua sosok: Di kiri, Mahesa, ayahnya—berjubah kelabu, bermata tajam namun lelah. Di kanan, Kartika, ibunya—berpakaian putih, tenang, penuh kasih namun dengan luka yang belum sembuh.
Mahesa membuka suara lebih dulu.
“Aku membentuk Langit Hitam bukan untuk menghancurkan. Tapi untuk melindungi para pendekar dari pembantaian sistematis oleh kekuasaan korup. Tapi aku… terlalu lemah untuk mencegahnya berubah menjadi kegelapan.”
Kartika menatap Satria dengan air mata bening.
“Aku mencintainya, bahkan saat dia memilih jalan lain. Tapi saat dia membiarkan kekuasaan menginjak nurani, aku harus pergi. Bukan untuk menyelamatkan diriku, tapi kamu.”
Satria tercekat. “Jadi… kau tahu, Ibu? Bahwa Ayah masih hidup dan… mengatur semua ini?”
Kartika menunduk. “Aku tahu. Tapi aku ingin kamu lahir tanpa dendam. Tanpa beban sejarah.”
Mahesa berjalan mendekat.
“Kau adalah dua darah, Satria. Tapi kau bukan kami. Kau adalah kemungkinan ketiga—jembatan antara cahaya dan bayangan. Tapi… satu hal harus kau pahami.”
“Langit Hitam tidak akan berhenti. Bahkan setelah aku mati.”
Kembali ke Dunia Nyata. Satria terbangun dengan keringat dingin. Tapi kini matanya tajam. Nafasnya teratur. Tubuhnya tenang. Ia telah lulus.
Aura tubuhnya kini memancar lebih kuat. Gerakannya lebih ringan. Ia adalah Pendekar Langit Madya—tahap sebelum puncak kekuatan.
Kota Cendana. Kantor Pusat Langit Hitam Rahasia. Di markas gelap, Bayu Kanda menerima laporan dari Ayu Laranti yang baru kembali dari luar negeri. Di tangannya, sebuah dokumen hasil pemantauan energi spiritual. Dan di layar: grafik lonjakan kekuatan batin seseorang yang tak lain adalah… Satria. Bayu terdiam. Sarah Widyawati melangkah pelan ke meja.
“Dia telah naik tingkat. Dan itu berarti… Mahesa belum mengajarkan semua warisan gelapnya.”
Bayu mengepal. “Jika dia mencapai Pendekar Langit Utama… kita kehilangan kendali.”
Sarah tersenyum pahit.
“Atau justru saat itulah… kita ajak dia memimpin Langit Hitam. Tidak sebagai musuh. Tapi sebagai darah dari darah Mahesa.”
Malam Hari. Apartemen Shinta. Satria kembali, tak membawa apa pun kecuali ketenangan.
Shinta membukakan pintu. “Kau pergi tanpa kabar tiga hari. Aku hampir menelepon seluruh rumah sakit.”
Satria tersenyum tipis. “Aku baik. Tapi… aku bukan orang yang sama seperti saat aku pergi.”
Shinta memandangnya. Ia tahu, ada sesuatu yang berubah. Bukan hanya kekuatan, tapi kedalaman luka dan pemahaman dalam sorot mata itu.
“Ada satu hal yang harus kamu tahu,” ujar Satria.
Shinta menunggu.
“Ayahku adalah Mahesa Widjaya. Pendiri Langit Hitam. Dan… kamu harus siap bila suatu saat nanti, aku menjadi musuh semua orang di kota ini.”
Shinta mendekat. Menggenggam tangan Satria.
“Kalau begitu… biarkan aku berdiri di sisimu. Sekalipun semua orang memusuhimu.”
Dan malam itu, dua jiwa memilih jalan yang lebih berat: bukan karena ingin menang, tapi karena tak ingin mewariskan kehancuran. Dan dunia mulai bersiap—karena Satria Wibawa kini telah membuka jalan menuju jurang terakhir: antara takdir darah… dan pilihan hati.