Tiga Hari Setelah Ziarah Makam Mahesa. Lembah Dalam Tertutup Kabut. Di sebuah tempat tersembunyi di balik hutan lebat sisi barat Kota Cendana, terdapat gua spiritual Cakrawala Sunyi, tempat para pendekar dahulu menguji jurus terlarang. Tak ada peta yang memuat lokasinya. Tapi cincin giok merah di jari Satria kini bersinar hangat tiap ia mendekat.
Cincin itu bukan sekadar warisan. Tapi kunci. Ia berdiri di tengah formasi batu membentuk simbol spiral. Di depannya tergeletak Kitab Warisan Mahesa—kuno, bersampul kulit ular salju, dengan halaman yang ditulis tangan penuh catatan silang, revisi, dan renungan.
Tiga Jurus Legendaris Mahesa: Bayangan Pertama – Nafas Petaka: Teknik menyerang dengan memperkuat getaran batin lawan hingga mereka melihat ketakutan mereka sendiri.
Bayangan Kedua – Cermin Luka: Menyerang bukan tubuh, tapi ingatan. Mengulang trauma lawan sebagai senjata.
Bayangan Ketiga – Runtuhnya Aku: Jurus gabungan yang hanya bisa digunakan jika seorang pendekar mampu menghapus egonya. Menyatukan terang dan gelap dalam satu serangan sempurna—yang bisa membunuh lawan, atau… dirinya sendiri.
Satria duduk bersila. Ia membuka halaman ke-53.
“Bayangan Ketiga hanya lahir dari luka yang diterima tanpa dendam. Siapa pun yang menyimpan kebencian—akan terputus jalurnya. Siapa pun yang mencintai kebenaran melebihi hidupnya—akan menguasainya.”
Peluh menetes dari dahi Satria. Ia mengulang satu frasa mantra batin: “Aku bukan luka. Aku bukan dendam. Aku adalah penjaga yang tak ingin lahir dari darah.”
Dan tiba-tiba… tubuhnya seolah terangkat dari tanah.
Ilusi Batin: Ujian Jurus Bayangan Ketiga. Di dalam kesadarannya, Satria berada di arena tak dikenal. Tanah merah. Langit kelam. Di hadapannya berdiri tiga sosok: Seorang anak kecil menangis—dirinya sendiri saat dibuang ke jurang. Kartika Larasati berdarah—menatapnya dengan air mata. Dan… Shinta, dengan punggung menghadap, perlahan menjauh ke dalam kabut.
Satria ingin berlari, tapi kakinya membeku. Suara terdengar di udara. Suara Mahesa.
“Kau tak bisa menyelamatkan semuanya. Kau hanya bisa memilih siapa yang kau relakan… dan siapa yang harus kau hadapi.”
Tiba-tiba, dari balik kabut, muncul Bayu Kanda dan Sarah Widyawati, bersatu, menantangnya. Satria menarik nafas. Ia mengepalkan tangan. Tapi saat hendak menyerang, tangannya menolak bergerak.
Ada suara lain dalam dirinya: “Kalau kau menyerang karena benci, maka jurus ini akan membunuhmu lebih dulu.”
Ia menutup mata. Membiarkan semua sosok itu masuk ke dalam dirinya—tanpa menolak, tanpa menghakimi. Dan di saat itulah… tubuhnya menyatu dengan arena. Dirinya membelah. Egonya terpecah. Tapi kesadarannya tetap utuh.
Kembali ke Dunia Nyata. Gua Cakrawala Sunyi. Satria jatuh terduduk. Nafasnya tersengal. Tapi tubuhnya bersinar pelan. Matanya kini lebih dalam. Suaranya lebih pelan… tapi menembus.
“Aku telah memilikinya.” Ia kini Penguasa Jurus Bayangan Ketiga.
Namun… di Kota Cendana, sebuah pengkhianatan mulai bersemi. Di ruang kantor Widyawati Corp lantai 18, Reynaldo Surya—Direktur Logistik—sedang berbicara di saluran rahasia.
“Ya. Dia sudah mengambil warisan itu. Tapi tak tahu… bahwa wanita di sisinya… adalah umpan terakhir dari Sarah.”
Dari ujung sana, suara dingin menjawab: “Jangan lukai dia. Biarkan Satria sendiri yang menyaksikan bagaimana kepercayaannya diruntuhkan.”
Malam Itu. Balkon Apartemen Shinta. Shinta duduk sendiri, membaca dokumen rahasia yang baru saja dikirim padanya.
Di dalamnya, tertulis perintah: “Pantau terus Satria. Jangan biarkan ia menyentuh data pusaka Ayahnya. Kita butuh dia—tapi belum untuk dilepaskan.”
Tangannya gemetar. Wajahnya murung.
“Maaf, Satria…” bisiknya. “Aku tak ingin kehilanganmu. Tapi aku juga tak bisa menolak ibuku.”
Shinta Chantika… adalah anak dari Sarah Widyawati.
Dan malam itu, tak satu pun sadar bahwa cinta pertama Satria… sedang perlahan-lahan berubah menjadi luka kedua.
Bersambung ke Episode 16: Ketika Cinta adalah Ranjau…