Tiga Hari Setelah Duel. Senja di Lembah Batu Menangis. Satria Wibawa duduk di pinggir lembah sunyi, tubuhnya dibalut perban herbal dari Tabib Wulan. Luka duel dengan Sagara belum pulih, tapi jiwanya telah memantap. Ia sudah tak ragu: warisan Mahesa adalah bukan tahta—melainkan teka-teki.
Shinta datang membawa kabar:
“Ada reruntuhan kuno di bawah kompleks Widyawati Corp lama. Itu bukan bangunan bisnis. Itu tempat penyimpanan spiritual terakhir Mahesa.”
Satria menatapnya penuh tanya.
“Kenapa kau memberitahuku? Itu bisa menghancurkan ibumu.”
“Karena kalau aku tak mulai menebus dosa… kau akan jadi bagian dari luka baru, bukan penyembuhnya.”
Malam Hari. Menyusup ke Perut Kota. Bersama Shinta dan satu sahabat lama—Bagas Wiranta, mantan murid Eyang Kala Kembara yang pernah hidup mengasingkan diri—Satria menyusup ke gedung tua yang sudah dibiarkan terbengkalai oleh Sarah.
Mereka menuruni tangga rahasia di balik lift mati. Tiap lantai ke bawah, aura spiritual semakin tebal.
Lantai ke-12, mereka menemukan gerbang batu bertuliskan huruf kuno:
“Di sinilah ego tak mati, tapi dikunci. Hanya pewaris yang berdamai dengan gelapnya yang bisa masuk.”
Satria menaruh kalung obsidian ke dalam lekukan pintu.
Gerbang terbuka. Suara seperti deru napas bumi sendiri terdengar samar.
Ruang Takhta Rahasia. Ruangannya gelap, kecuali sebuah singgasana batu hitam yang terbuat dari obsidian cair yang membatu. Di belakangnya—patung Mahesa duduk bersila, tangan terbuka ke dua arah: kanan dan kiri.
Di bawah singgasana terdapat ukiran berbentuk garis silsilah. Tapi aneh: nama Mahesa ada di tengah—dan dari sana, dua cabang bercabang ke atas, dan satu ke bawah.
Shinta tertegun.
“Tunggu. Dua ke atas… berarti kamu dan Sagara. Tapi yang ke bawah?”
Bagas mendekat. Ia menyentuh nama di cabang bawah:
“Kiara.”
“Ada anak lain… dari Mahesa. Dan dia bukan pendekar. Tapi… penerus ruh utama Langit Hitam.”
Takhta Terbuka. Visi Mahesa. Saat Satria duduk di takhta, dunia di sekelilingnya runtuh. Ia masuk ke dalam ruang ilusi memori Mahesa.
Mahesa muncul, muda, gagah, tapi matanya lelah. Ia bicara tanpa suara, hanya getaran.
“Satria… jika kau duduk di sini, berarti dunia sedang menuju kehancuran dari dalam.”
“Kekuasaan bukan untuk dipertahankan, tapi untuk dibubarkan.”
“Aku buat Langit Hitam karena dunia tidak adil. Tapi kekuasaan membutakan tujuannya.”
“Dan anak-anakku… kalian bukan penerus. Kalian pembongkar.”
Tiba-tiba, bayangan Mahesa menoleh tajam.
“Tapi hati-hati. Tak semua ingin perubahan. Bahkan dari darahku sendiri.”
Bayangan itu lenyap. Satria terlempar keluar dari penglihatan.
Sementara Itu. Di Menara Langit Timur. Sagara berdiri di depan Kiara. Ya, Kiara benar-benar ada. Seorang gadis 17 tahun, buta, namun tubuhnya memancarkan aura spiritual luar biasa.
“Saudaraku sudah menyentuh takhta,” ujar Sagara dingin.
“Tapi kau… kau adalah senjata sejati Ayah.”
Kiara tersenyum pelan.
“Kalau kalian ingin perang, aku akan menjadi perangnya. Tapi kalau kau dan Satria ingin saling bunuh… maka akulah yang akan menguburkan kalian berdua.”
Keesokan Harinya. Markas Langit Hitam Bergetar. Para pemimpin bayangan Langit Hitam mendadak menerima pesan rahasia dalam lilin spiritual:
Takhta Mahesa telah disentuh. Warisan telah terbuka. Dan tiga darah pewaris telah bangkit.
Satria. Sagara. Kiara.
Dunia pendekar tak lagi tentang terang dan gelap…Melainkan siapa yang berani meruntuhkan keduanya.
Bersambung ke Episode 21: Anak Perempuan Mahesa…