Bukit yang Tak Menyambut Kehadiran Manusia Dari kejauhan, Bukit Boneka tampak seperti tempat bermain anak-anak. Tapi bagi para pendekar tua, nama itu membekukan tulang. Karena di sana tumbuh Pohon Sungsang Rindu, pohon yang akar-akarnya tumbuh ke langit dan cabangnya masuk ke tanah—merekam tangis terdalam siapa pun yang pernah memeluknya.

Di sinilah Pecahan Keempat Mata Jiwa Mahesa tersembunyi, dijaga oleh Syanira, murid keempat Mahesa yang dulu dikenal sebagai “Pendekar Pengembus Luka.”

Perjalanan Ke Bukit Boneka. Satria, Kiara, dan Bagas tiba di bukit setelah melewati padang semak yang berbisik. Setiap langkah membuat boneka dari kain lusuh dan potongan bambu menoleh perlahan, menatap mereka dari antara pepohonan.

Kiara menggenggam tasbih batu gioknya erat.

“Mereka bukan boneka. Mereka sisa jiwa anak-anak yang ditinggalkan,” ucapnya pelan.

Bagas menelan ludah. “Tempat ini lebih angker dari kutub beku…”

“Ini bukan angker, Bagas,” ujar Satria. “Ini sedih.”

Munculnya Syanira. Pendekar Luka yang Hilang. Tiba-tiba, dari balik batang pohon melengkung, muncul perempuan berkerudung kain perca, matanya sembab seperti habis menangis berabad-abad. Itulah Syanira.

“Kalian ingin pecahan itu? Maka berikan luka terdalam kalian. Pohon ini haus.”

Satria menunduk, ia ingat jurang—dan ibunya yang tertawa setelah mendorongnya.

Kiara menggenggam hati. Ia ingat malam ketika ibunya, Nyi Bening, meninggalkannya di pintu langgar, dengan bisikan: “Dunia ini terlalu berat untuk anak mata tertutup…”

Pohon bergetar. Akarnya mencambuk udara. Udara di sekitar menjadi berat oleh emosi yang belum selesai.

Ujian Pohon Rindu: Membacakan Luka. Syanira mendekatkan wajahnya ke Kiara.

“Kau… anak buta. Tapi hatimu melihat terlalu banyak. Maukah kau tinggalkan itu? Dan biarkan aku membawamu hidup tanpa tanggung jawab?”

Kiara meneteskan air mata.

“Tidak. Aku ingin memeluk dunia, meski dunia menusuk balik.”

Syanira menoleh ke Satria.

“Kau… Satria. Anak yang dibuang. Maukah kau serahkan jurus-jurus surgawi dan hidup biasa, jauh dari darah dan pilihan berat?”

Satria menatapnya tajam.

“Kalau aku menyerah… siapa yang menjaga orang-orang yang tak bisa bertarung?”

Syanira menangis.

“Mahesa… dulu mengatakan hal yang sama padaku. Tapi dia… pergi. Dia memilih dunia. Bukan aku.”

Dan akhirnya, ia berlutut di bawah akar pohon, memeluk batangnya seakan pohon itu adalah Mahesa sendiri.

Pecahan Keempat Muncul. Dari dalam tanah, tumbuh kelopak bunga perak, di tengahnya terletak pecahan hitam bening yang berdenyut seperti jantung. Pecahan Keempat Mata Jiwa Mahesa.

Satria mengambilnya perlahan. Saat ia menyentuhnya, bayangan Mahesa muncul di benaknya—bukan sebagai pendekar agung, tapi sebagai seorang ayah yang lelah, duduk sendiri di tepi tebing, menatap langit tanpa bintang.

Malam itu, mereka mendirikan tenda di kaki bukit. Angin membawa suara boneka-boneka yang kini bernyanyi.

Syanira tinggal di atas, tak ikut turun. Tapi sebelum mereka berpisah, ia berkata:

“Jika nanti kalian membuka Ruang Pemutus Cahaya… jangan lepaskan sisi gelap Mahesa. Ia bukan musuhmu. Ia adalah sahabat yang terpaksa dikurung oleh pilihan yang berat.”

Kiara mencatat semua itu di dalam Kitab Hening.

Satria hanya diam. Tapi matanya lebih dalam dari biasanya. Empat dari tujuh telah dikumpulkan. Dan dunia… mulai retak dari dalam.

Bersambung ke Episode 27: Menara Buta Angin…