Gerbang yang Tak Dibuka oleh Kunci. Di jantung Gunung Niskala, gunung mati yang telah tertidur sejak zaman prasejarah, terdapat sebuah lorong batu yang tak ditemukan oleh mata, tapi oleh darah. Di ujung lorong itulah bersemayam Ruang Pemutus Cahaya, tempat Mahesa dahulu memecah jiwanya menjadi tujuh pecahan—dan mengunci sisi tergelapnya dengan sumpah darah keturunannya sendiri.
Kini, keenam pecahan telah dikumpulkan. Yang ketujuh… hanya akan muncul jika darah terakhir Mahesa mengalir ke altar batu.
Perjalanan Menuju Niskala. Satria, Kiara, dan Bagas berdiri di tepi kawah tua. Langit di atas mereka kelabu pekat, seolah bumi pun menahan napas.
Shinta Chantika muncul tanpa suara, menyusul mereka dari jalur rahasia yang hanya diketahui oleh keluarga Widyawati—sebuah bukti bahwa ia telah tahu lebih banyak daripada yang ia tunjukkan selama ini.
“Satria,” katanya lirih, “kau yakin ingin melanjutkan?”
Satria menatapnya. “Jika aku berhenti sekarang, maka bukan cuma Mahesa yang akan bangkit… tapi juga kehancuran yang tak bisa lagi kita kendalikan.”
Kiara menggenggam tangan Satria.
“Kita sudah sejauh ini. Sekarang bukan waktunya ragu.”
Membuka Ruang Pemutus Cahaya. Di tengah ruang dalam gunung, mereka tiba di altar darah. Batu hitam besar dengan ukiran yang hanya bisa terbaca oleh jiwa yang pernah ditinggal Mahesa.
Satria berdiri di tengah altar. Ia menggenggam belatinya.
“Kalau aku mati, jangan selesaikan ritual ini. Bakar semua pecahan.”
Kiara mengguncang kepala.
“Kau tak akan mati.”
Satria mengguratkan lengannya. Darahnya menetes ke ukiran batu… dan saat itu juga, gunung bergetar. Dinding runtuh, dan Ruang Pemutus Cahaya terbuka.
Di dalamnya: kehampaan. Tak ada ornamen. Hanya sebuah cermin besar—datar, bisu, memantulkan siapa pun… tanpa bayangan.
Dan di tengah ruangan…berdiri Mahesa.
Mahesa Bangkit. Tapi Bukan Seperti yang Mereka Kira Bukan tubuh Mahesa yang muncul. Tapi paduan jiwa-jiwa yang selama ini terbelah. Sosoknya tinggi, bersinar dan gelap sekaligus. Mata kanannya terang benderang, tapi mata kirinya tak berhenti menangis darah.
“Satria,” suara itu bergema dalam ruang hampa,
“Anakku. Kau membawa semua ini kembali. Kenapa?”
Satria mendekat. “Karena dunia membutuhkannya. Dan… aku membutuhkannya. Aku butuh ayahku kembali.”
Mahesa tersenyum sendu.
“Aku tidak lagi ayahmu. Aku adalah seluruh pilihan yang pernah aku tolak. Aku adalah luka yang tak bisa sembuh… Aku adalah Mahesa sebelum ia menjadi manusia.”
Dilema Terakhir: Menyatukan atau Menghapus. Kiara mengangkat Kitab Hening, bergetar.
“Jika kita menyatukan ketujuh pecahan… Mahesa akan kembali, tapi tak akan sama. Ia bisa jadi dewa. Atau iblis.”
Bagas mengangkat salah satu pecahan. “Tapi kalau kita menghancurkan ini… kita kehilangan semua ilmu, semua warisan, semua harapan.”
Shinta melangkah maju, memegang tangan Satria.
“Ini bukan tentang ayahmu, Sat. Ini tentang kamu.
Kamu ingin menjadi penutup warisan Mahesa, atau pintu menuju generasi baru?”
Pilihan Satria. Satria menatap pecahan ketujuh yang kini melayang di udara. Lalu ia menoleh pada Kiara. Kemudian pada Shinta.
Lalu menatap pantulan dirinya di cermin…yang tidak memantulkan siapa-siapa.
“Aku tidak akan memilih untuk jadi Mahesa. Aku akan jadi Satria.”
Dan dengan langkah mantap, ia menghimpun tujuh pecahan, lalu mencelupkan semuanya ke dalam darahnya sendiri. Ledakan cahaya menghancurkan langit-langit gunung. Gunung Niskala retak. Dunia bergetar.
Saat debu mereda, hanya ada satu sosok berdiri di tengah ruang kosong. Satria Wibawa. Berdiri tegak. Mata kanannya menyala seperti Mahesa. Mata kirinya menangis seperti Ruhmaya. Tapi tubuhnya… utuh.
“Aku sudah mengambil semua sisi Mahesa. Tapi aku tetap aku.”
Dan di tangannya—bukan tujuh pecahan, tapi sebutir batu baru: Jiwa Kesatu — warisan baru yang tak dibagi.
Bersambung ke Episode Terakhir (30): Satria Wibawa, Pendekar Tanpa Bayangan…