Catatan Jafar G Bua*

17 Agustus 2007. Sudah 18 tahun berselang. Sudah sangat lama ternyata.

Saya tengah dalam perjalanan pulang, menumpang pesawat Pan American Airways dari Bandar Udara Internasional Dulles, Washington DC, Amerika Serikat menuju Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Indonesia. Untuk itu, kami harus transit di Bandara Narita, Tokyo, Jepang.

Hari itu sebetulnya istimewa. 17 Agustus. Di tanah air, ada peringatan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-62. Tapi di ruang tunggu bandara asing, semua terasa sunyi, sepi. Tak ada upacara, tak ada Merah Putih, tiada nyanyian Indonesia Raya. Transit yang lama pula. Tidak kurang empat atau lima jam lamanya saat itu.

Dan justru di situlah rasa nasionalisme itu datang menyergap, lebih kuat dari biasanya. Di tengah bandara asing, jauh dari tanah kelahiran, tanpa dekorasi, tanpa formalitas, rasa cinta tanah air seperti mengalir kuat dalam dada.

Tiba-tiba, Dandhy Dwi Laksono, pembuat film dan dokumenter sohor itu, berdiri. Tak juga mengajak dengan serius, ia cuma dengan santai, menyanyikan Padamu Negeri. Kami ikut. Suara kami pelan, serak, agak canggung, tapi syahdu.

Entah kenapa, saya dan kawan-kawan lainnya menitikkan air mata.

Mungkin sebab di luar negeri, nasionalisme tidak datang dari upacara atau protokol. Tapi dari rindu. Dari rasa kehilangan. Dari keinginan untuk kembali.

Ada pula setengah bercanda, bilang, bahwa kami menangis bukan karena rindu tanah air, tapi karena lembaran dollar sisa beasiswa dari Ohio University sudah menipis. Wallahualam Bissawab, Hanya Allah yang lebih mengetahui kebenaran yang sesungguhnya.

Kini, di tahun 2025, saya melihat sesuatu yang lain. Di berbagai tempat, anak-anak muda mengibarkan bendera bajak laut. Tengkorak tersenyum dengan topi jerami. Lambang Luffy dan krunya dari One Piece. Mereka memasangnya di rumah, di motor, ada pula di truk dan mobil pribadi mereka, bahkan di tiang-tiang yang biasanya hanya untuk Merah Putih.

Ada yang bilang, ini bentuk kritik. Bahwa mereka merasa negara ini tak adil. Bahwa Luffy mewakili perlawanan, keberanian, dan harapan, hal-hal yang katanya tak lagi mereka lihat dari simbol resmi negara.

Tapi saya juga melihat sesuatu yang berbeda.

Saya melihat ini sebagai kelatahan, ikut-ikutan. Di media sosial, sikap itu diberi atribusi sebagai FOMO atau fear of missing out. Ketakutan berlebihan untuk tidak mengetahui berita atau tren terkini yang tengah viral. Lalu, bahkan tanpa membaca lebih jelas, langsung menyebarkannya di akun-akun mereka, 

Saya melihat keinginan untuk tampak kritis, untuk tampak peduli, padahal bisa jadi hanya ikut-ikutan. Sama seperti sebagian mahasiswa yang berunjuk rasa menolak RUU TNI di Gerbang Pancasila, komplek DPR RI Senayan beberapa waktu lalu, tapi tak tahu apa yang sebenarnya mereka tolak. Sementara RUU Polri, yang setali tiga uang, diacuhkan.

Saya melihat ekspresi yang tanpa pemahaman. Simbol tanpa isi.

Dan menurut saya, itu menyedihkan.

Saya tidak ingin menyalahkan mereka. Saya tahu generasi muda hari ini tumbuh di tengah banjir informasi. Segalanya cepat. Segalanya viral. Segalanya bisa diklik. Tapi justru karena itu, pemahaman seringkali menjadi barang mahal. Segalanya terasa penting, tapi tak ada yang sungguh-sungguh dicerna.

Padahal, mencintai Indonesia bukan soal tampilan. Bukan soal simbol di kaus, atau jargon di caption, atau juga status di linimasa media sosial. Tapi soal rasa. Soal tahu dari mana kita datang, dan mau ke mana kita menuju.

Dulu, saat Mahapati Gajah Mada mengeluarkan Amukti Palapa, lalu mengibarkan panji-panji Majapahit, itu bukan hanya tanda kekuasaan. Itu adalah simbol Semangat. Simbol tekad. Para prajurit bisa mati demi menjaga panji itu tetap tegak. Karena di lembaran kain-kain pataka itu, ada harga diri. Ada kehormatan bersama.

Tapi sekarang, Merah Putih kadang hanya jadi formalitas. Dipasang karena ada perintah Ketua RT. Dicopot begitu lewat bulan. Dilipat, disimpan, dilupakan. Lusuh.

Kita terlalu sering menyuruh orang mencintai negara ini. Tapi lupa menunjukkan kenapa negara ini layak dicintai.

Saya teringat nenek saya. Ma’ani namanya. Ia tak pernah bicara soal “nasionalisme”. Namun, sebab ia pernah sekolah meski cuma Sekolah Rakyat di zaman Belanda lalu Jepang, ia paham soal itu. Tertanam di sanubarinya, bahwa kebangsaan itu adalah menghormati bendera, seperti ia pernah disuruh menghormati bendera Belanda dan Jepang, dan merah putih, lalu menghormati negara, dan memuliakan sesama. Dan ia juga menambahkannya bahwa kita harus selalu bersih, selain disiplin tadi. Olehnya mengapa ia selalu menjaga halaman tetap bersih. Ia juga suka memberi makan tamu lebih dulu, meski lauknya, mungkin, nanti tersisa sedikit saja untuk orang rumah.

Itulah kebangsaan Indonesia yang dia tahu. Indonesia yang tidak perlu dijelaskan dalam pidato yang membakar dan berapi-api. Indonesia yang hidup dalam sikap, dalam laku sehari-hari.

Saya percaya, kalau anak-anak hari ini tak lagi merasa dekat dengan Merah Putih, mungkin bukan karena mereka tak cinta, tapi karena mereka tak kenal. Karena kita tak pernah benar-benar memperkenalkan mereka.

Saya tidak menyalahkan mereka yang mengibarkan bendera One Piece. Tapi saya bertanya-tanya: benarkah mereka sedang melawan ketidakadilan? Atau hanya ingin terlihat keren? Benarkah mereka sedang memprotes sesuatu? Atau sedang mencari perhatian?

Kalau benar ingin menyuarakan ketidakadilan, kenapa hanya dengan simbol? Kenapa tidak menulis, membaca, berdiskusi, bergerak?

Saya takut, semua ini hanya gaya. Seolah menjadi kritis itu soal simbol, soal tampilan. Padahal menjadi kritis adalah kerja yang sepi. Butuh berpikir. Butuh membaca. Butuh rendah hati.

Dulu, di ruang tunggu Narita, kami menyanyikan Padamu Negeri tanpa disuruh. Tanpa spanduk. Tanpa publik. Tapi rasa itu nyata. Kami sadar betapa berharganya tanah air ini, justru ketika kami jauh darinya.

Hari ini, saya ingin generasi muda juga bisa merasakan hal yang sama, bukan karena dipaksa, tapi karena mereka mengerti. Karena mereka melihat bahwa Indonesia adalah rumah. Rumah yang belum sempurna, tapi layak diperjuangkan.

Saya tidak ingin negara bertindak semena-mena. Tapi saya juga tidak ingin bendera bajak laut berkibar lebih tinggi dari Merah Putih. Saya tidak ingin simbol fiksi lebih menyentuh hati, hanya karena simbol asli kehilangan makna.

Kalau benar kita mau membuat anak-anak cinta tanah air, maka kita harus mulai dari cerita. Bukan dari perintah. Kita harus mulai dari rasa. Bukan dari aturan.

Merah Putih, sebab ia bendera nasional kita, tak akan hidup hanya karena dikibarkan. Ia akan hidup kalau dihayati. Kalau dikenang. Kalau dijaga, bahkan dengan tindakan kecil setiap hari; saling menghormati antartetangga, misalnya.

Saya percaya, generasi muda hari ini punya hati. Tapi mereka butuh dituntun. Bukan dengan ceramah. Tapi dengan suri tauladan.

Bendera bisa jadi apa saja. Tapi cinta tanah air hanya lahir kalau ada ruang untuk merasa memiliki. Ruang untuk rindu. 

Dan mungkin, di antara semua perayaan yang riuh, yang kita butuhkan justru sejenak tenang. Untuk bertanya: apakah Merah Putih masih menyentuh hati kita?

Kalau jawabannya belum, mungkin bukan benderanya yang salah. Tapi kita.

*Penulis adalah alumni Indonesia Broadcasting Journalism Program di Scripps School of Journalism, Department of Communication, Ohio University, Athens, Ohio, Amerika Serikat, 2007, kini Tenaga Ahli Anggota DPR RI.