(Ditulis oleh Jafar G Bua*, untuk bahan diskusi)
Baru pagi tadi, saya membaca berita tentang rencana peresmian Komando Daerah Militer (Kodam) baru pada 10 Agustus 2025, pekan depan di Pusdiklatpassus Kopassus, Batujajar, Bandung Barat.
Kodam XXIII membawahi wilayah Provinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat. Dua wilayah yang luas, penuh bukit dan laut, serta kekayaan alam melimpah, yang selama ini dinaungi Kodam XIV/Hasanuddin di Makassar, Sulawesi Selatan dan Kodam XIII/Merdeka di Manado, Sulawesi Utara.
Kodam ini diberi nama Palaka Wira. Sebelumnya, kabarnya sempat dinamai Maha Wira. Nama-nama, yang jujur saja, kedengarannya mulia, megah, heroik. Tapi juga terasa asing di hati dan pikiran.
Saya mencoba membayangkan bagaimana anak-anak di Donggala, di pegunungan Sigi, dan Tampo Lore atau di pesisir Majene dan Mamuju, mendengar nama itu. Mungkin mereka akan mengernyit, bertanya pelan: “Itu artinya apa?” Dan mereka akan diberi penjelasan bahwa Palaka berarti pelindung, dan Wira berarti kesatria. Keduanya dari bahasa Sanskerta.
Saya diam. Tak ada yang salah dengan maknanya. Tapi juga ada yang mengganjal dalam hati.
Saya tumbuh dalam keyakinan bahwa nama bukan hanya tentang arti, tapi juga tentang asal. Dan asal itu penting, bak akar yang menambatkan pohon pada tanah. Nama yang baik bukan cuma mesti terdengar indah, tapi juga harus terasa akrab.
Saya mencatat nama-nama Kodam lain yang sudah lama berdiri. Kodam I disebut Bukit Barisan, dari rangkaian pegunungan di Sumatera. Kodam II memakai nama Sriwijaya, kerajaan besar dari masa silam. Kodam III Siliwangi, raja Pajajaran yang melegenda. Kodam Brawijaya, Diponegoro, Hasanuddin, Pattimura, semuanya membawa nama-nama yang hidup di benak masyarakat setempat. Nama yang mengandung cerita, sejarah, kadang bahkan kenangan turun-temurun.
Tapi Palaka Wira?
Saya tak bisa menemukannya dalam syair Kaili. Tak saya jumpai dalam perahu Sandeq yang tenang melaju membelah samudera. Tak pula disebut dalam kisah orang-orang di Tampo Lore. Ia terasa datang dari tempat lain.
Mungkin inilah masalah kita sejak dulu: terlalu percaya bahwa nama-nama yang agung hanya bisa datang dari luar. Dari kitab tua. Dari bahasa yang tak kita gunakan dalam percakapan sehari-hari. Kita lupa bahwa Indonesia adalah rumah bagi ratusan bahasa dan ribuan budaya.
Kita bangga dengan ke-Indonesia-an, tapi ragu dengan ke-nusantara-an.
Padahal Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat punya kekayaan budaya yang luar biasa. Di Palu, saya pernah mendengar seorang tetua Kaili bercerita tentang “nosarara nosabatutu”. Artinya, kita semua bersaudara, kita setara. Di Posi kita mengenal “sintuwu maroso”, dengan bersatu kita menjadi kuat. Sebuah filosofi hidup yang menyejukkan. Bukan hanya semboyan kosong, tapi nilai yang sungguh diyakini.
Di Sulawesi Barat, para nelayan Mandar mengarungi laut dengan perahu sandeq, cepat, ringan, dan tak takut pada ombak. Perahu itu adalah lambang ketangguhan, keberanian yang tenang. Ada pelaut, ada puisi, ada kekuatan yang lahir dari keseharian. Lihat pula lambang daerah Provinsi Sulbar. Ada tulisan “Mellete Diatonganan“, di pita merah putihnya. Itu artinya sungguh istimewa:”Meniti di Atas Kebenaran.”
Saya membayangkan: bagaimana jika nama Kodam ini mengambil sesuatu dari situ? Dari yang dikenal, dari yang dirasakan? Misalnya: Kodam XXIII/Nosarara. Atau Kodam Sandeq. Atau mungkin, Kodam Andi Depu, mengabadikan perempuan pejuang dari Polewali Mandar yang mengusir penjajah dengan kepala tegak. Atau Kodam XXIII/Tombolotutu, Pahlawan Nasional asal Parigi Moutong, Sulawesi Tengah yang ternyata adalah keturunan pelaut dan saudagar Mandar. Itu bisa menjembatani keistimewaan adat dan budaya dua wilayah itu.
Nama Kodam XXIII/Karanjalembah pun bisa dipilih. Ini merujuk pada sosok Karanjalembah atau Toi i Dompo yang menggelar perlawanan atas Belanda dalam Perang Sigi-Dolo di awal 1900-an. Ia kemudian ditangkap dan dibuang Belanda ke Sukabumi, Jawa Barat sampai wafat di sana 1992, lalu pada 2006 dipindahkan kerangkanya ke Watunonju, Sigi, Sulteng,
Bukankah itu lebih menyentuh? Lebih membumi?
Saya tahu, sebagian mungkin akan berkata: “Itu hanya nama.” Atau meminjam bahasa sastrawan Inggris, William Shakespeare, “what is a name?” Apalah arti sebuah nama?. Tapi kita juga tahu, nama bukan hal sepele. Kita memilih nama anak dengan hati-hati, penuh doa dan harapan, karena ia akan dibawa seumur hidup. Kita memberi nama jalan, gedung, bahkan kota, bukan sembarangan. Karena kita ingin nama itu punya makna dan dikenang.
Kodam bukan sekadar institusi pertahanan. Ia adalah bagian dari wajah negara. Ia hadir di tengah masyarakat. Maka namanya pun semestinya merefleksikan masyarakat itu.
Jika Palaka Wira adalah nama yang baik, tak bisa kita bantah. Tapi apakah ia dekat? Apakah ia membuat seorang anak di Poso merasa memiliki? Atau membuat seorang petani pun nelayan di Mamuju merasa bahwa tentara yang berjaga di sana adalah saudaranya, bukan sosok asing? Memang lambangnya menyertakan guma, senjata tradisional Suku Kaili di Sulteng, dan gayang lekkong, keris berlekuk, senjata tradisional khas Mandar di Sulbar.
Tapi itu tak cukup. Nama yang terlalu jauh dari keseharian bisa menjauhkan rasa memiliki.
Saya bukan orang yang romantis melankolis. Tapi saya percaya, pertahanan sejati bukan cuma soal senjata atau strategi. Ia juga soal kepercayaan. Dan kepercayaan tumbuh dari rasa kedekatan.
Bayangkan jika Kodam ini dinamai dengan kata dari bahasa lokal. Maka ketika seorang prajurit berdiri di barak, dan melihat lambang Kodam-nya, ia merasa: “Aku menjaga tanah ini, dan tanah ini mengenal namaku.”
Atau ketika masyarakat mendengar nama Kodam, mereka tahu bahwa nama itu berasal dari cerita mereka sendiri. Dari sejarah mereka. Dari puisi-puisi atau tutura, sastra lisan yang pernah didengar dari kakek-nenek mereka di beranda rumah.
Bukankah itu lebih indah?
Saya sadar, dalam banyak hal, kita memang terburu-buru. Kita bangun institusi, kita resmikan, kita beri nama, lalu berlanjut ke agenda berikutnya. Tapi kadang, yang kecil seperti ini bisa punya dampak besar.
Sebuah nama bisa jadi jembatan, atau dinding pembatas, serupa Tembok Berlin sebelum dirobohkan. Ia bisa mempererat, atau menjauhkan dan membatasi. Dan ketika kita bicara soal institusi yang akan menjaga dua provinsi selama bertahun-tahun ke depan, saya pikir, kita pantas merenungkannya lebih dalam.
Mungkin kita terlalu cepat menetapkan nama. Tapi belum terlambat untuk berdiskusi. Belum terlambat untuk mendengarkan suara dari tanah yang akan dijaga. Bukan hanya suara elite, tapi suara masyarakat biasa, yang hidupnya justru paling dekat dengan Kodam ini.
Karena Tentara Nasional Indonesia, dalam semangat dasarnya, adalah bagian dari rakyat. Maka namanya pun semestinya menyuarakan rakyat.
Saya tak ingin merendahkan nama Palaka Wira. Tapi saya ingin bertanya, pelan-pelan, seperti seseorang bertanya pada sahabat lamanya:
Apakah nama itu betul-betul milik kita?
Atau hanya milik sebuah konsep yang datang dari jauh, atau dari segelintir elit di Markas Besar TNI dan belum sempat kita kenali sepenuhnya?
Saya membayangkan satu hari nanti, seorang anak di Palu melihat papan nama Kodam ini, dan bertanya, “Apa artinya?” Dan ayahnya tidak sekadar menjelaskan kata per kata, tapi juga bisa bercerita: tentang laut Mandar, tentang semangat nosarara, tentang pahlawan lokal yang dulu pernah melawan penjajah.
Dan dari situ, lahirlah rasa memiliki.
Dan dari rasa memiliki, tumbuhlah kepercayaan.
Dan mungkin, dari kepercayaan seperti itulah, pertahanan terbaik kita bermula.
*Jafar G Bua adalah penerima beasiswa Asia Journalism Fellowship, Temasek Foundation – Institute of Policy Studies, National University of Singapore, 2019, dan kini Tenaga Ahli Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra.