Oleh: Jafar G Bua*
Nama bukan sekadar penanda biasa dan lazim. Dengan itu kita akan dikenal dan dikenang. Apalagi, dalam struktur pertahanan seperti Kodam, nama menjadi bagian penting dari ingatan kolektif dan identitas suatu daerah. Maka, memilih nama untuk Kodam XXIII yang akan membawahi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat, patut dipertimbangkan dengan saksama.
Presiden Prabowo Subianto telah dijadwalkan meresmikan Komando Daerah Militer (Kodam) XXIII sebagai bagian dari penguatan sistem pertahanan di wilayah tengah Indonesia pada 10 Agustus 2025 mendatang di Pusdiklatpassus, Batujajar, Bandung. Kodam ini seperti yang sudah diketahui membawahi dua provinsi: Sulawesi Tengah (Sulteng) dan Sulawesi Barat (Sulbar).
Di tengah ancang strategis tersebut, muncul pertanyaan menarik sekaligus penting: nama apa yang paling layak disematkan pada Kodam XXIII?
Dua nama sudah mencuat: Kodam XXIII/Tombolotutu dan Kodam XXIII/Palaka Wira, yang bahkan sudah dianggap defenitif. Keduanya memiliki kekuatan simbolik masing-masing. Namun, jika kita menimbang dari sisi sejarah, keterhubungan emosional masyarakat, serta relevansi kultural, nama Tombolotutu menghadirkan banyak hal yang patut dipertimbangkan lebih dalam.
Tombolotutu adalah pejuang nasional yang berasal dari Moutong, Sulawesi Tengah. Presiden Joko Widodo telah menetapkan Tombolotutu sebagai Pahlawan Nasional pada 2021, sebab jasanya memimpin perlawanan terhadap penjajahan Belanda selama lebih dari dua dekade, dari tahun 1905 hingga 1926. Perjuangannya berlangsung lama dan penuh pengorbanan, melibatkan strategi gerilya dan dukungan dari masyarakat lokal.
Yang menarik, Tombolotutu juga diketahui merupakan keturunan etnis Mandar, kelompok masyarakat mayoritas di Sulawesi Barat. Hal ini menjadikan sosoknya sebagai tokoh yang secara historis dan budaya mampu menghubungkan dua wilayah yang kini akan dinaungi Kodam XXIII.
Menjadikan nama Tombolotutu sebagai identitas Kodam bukan sekadar bentuk penghormatan kepada pahlawan, tetapi juga dapat menjadi perekat sejarah bersama antara dua provinsi. Di tengah upaya memperkuat rasa memiliki terhadap institusi negara, penamaan seperti ini bisa menjadi jembatan penting antara negara dan masyarakat.
Tentu, usulan lain seperti Palaka Wira juga hadir dengan semangat positif. Nama tersebut memiliki nuansa heroik dan militansi. Namun, karena tidak merujuk pada tokoh atau simbol budaya tertentu di Sulteng maupun Sulbar, kedekatan maknanya dengan masyarakat bisa jadi tidak sekuat nama yang punya akar sejarah lokal.
Memang, saya memahami, ada kekuatiran di kalangan pejabat militer, khususnya di wilayah Sulteng, bila dipilih nama Tombolotutu, maka Sulbar akan cemburu.
Kita coba tengok wilayah-wilayah lain. Sebagian besar Kodam di Indonesia memakai nama-nama tokoh atau simbol daerah yang kuat, Kodam Hasanuddin (membawahi Sulsel dan Sultra). Orang Sultra tidak pernah protes atau menuntut agar nama, Oputa Yi Koo, Sultan Buton penentang Belanda jadi nama Kodam XIV. Begitu pula Kodam XXI yang akan diresmikan bersama Kodam XXIII. Kodam yang membawahi wilayah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan ini, memakai nama Tambun Bungai, tokoh pejuang dari Kalteng, bukan Pangeran Antasari atau Sultan Hidayatullah, dua nama Pahlwan Nasional dari Kalsel. Jadi, penamaan ini bukan hanya soal kebanggaan, tetapi juga mencerminkan kedekatan institusi militer dengan sejarah dan identitas tempat ia berdiri. Apalagi karena hirarki dan garis komandonya, perdebatan terbuka akan nir sama sekali dalam militer.
Dari sudut pandang ini, nama Tombolotutu sangat kuat dari sisi ketokohan dan maknanya. Itu lebih dari sekadar sebutan. Ia membawa narasi perjuangan, keterikatan budaya, dan pengakuan terhadap sejarah lokal. Bukan untuk menegasikan pilihan lain.
Akhirnya, keputusan ada di tangan para pemangku kebijakan. Tapi orang banyak tentu berharap, penentuan nama Kodam XXIII, pilihannya tak sekadar terdengar gagah, melainkan juga musti berakar kuat dalam sejarah dan jiwa masyarakat Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat.
Wallahu a’lam bishawab – Hanya Allah yang lebih tahu kebenarannya.
*Penulis adalah Alumni AJF, Temasek Foundation – Institute of Policy Studies, National University of Singapore, 2019, kini Tenaga Ahli Anggota Fraksi Partai Gerindra DPR RI