[embedyt] https://youtu.be/AY_sTiKJvq4 [/embedyt]

Di bawah langit biru yang membentang. Di atas bumi Allah yang menghampar luas. Di antara tumpukan sampah yang tak wangi aromanya.

Bersama dengan hewan ternak yang mengais sisa makanan, mereka menggantungkan hidupnya dari sekilo dua sampah plastik yang mereka kumpulkan hingga sekarung dua lalu dijual, agar sampah-sampah plastik itu bersalin rupa menjadi rupiah.

BACA INI JUGA:  Mythomania, Penyakit Orang yang Suka Bohong Bahkan Percaya Kebohongannya Sendiri

Dengan itulah mereka membuat asap dapurnya tetap mengepul. Bisa jadi pula membiayai sekolah anak-anak mereka, meski hanya sampai sekolah dasar saja

Mereka orang-orang yang pantang mengemis. Bahkan menerima sebungkus dua nasi campur mereka malu. Tak biasa mereka menadahkan tangan.

BACA INI JUGA:  Menanti dengan Rindu Para Joki itu Kembali ke Teluk Palu

Tapi mereka tak mau menolak rezeki. Jadi bila ada derma berupa nasi bungkus diantarkan, mereka pun bergegas, paling tidak itu bisa menghemat uang belanjanya. Sebab kerap mereka memulung sekeluarga, ada bapak, ibu, anak-anak bahkan keponakan.

BACA INI JUGA:  Vigilante di Petobo, Negra Sombra di el Salvador

Sebungkus dua nasi campur seperti berkah di pagi hari yang sudah terik itu. Dan pagi itu tempat pembuangan akhir sampah kawatuna, mantikulore di palu angin tak cuma membawa aroma sampah yang mengganggu, tapi juga rasa hati yang gembira, baik mereka, para pemulung maupun penderma. ***