Oleh: Ibnu Mundzir, SP, M.Eng
Apa yang bisa membedakan peristiwa triple disaster di Kota Palu, yaitu gempa, tsunami dan likuifasi pada 28 September 2018 dengan kejadian besar lainnya di belahan bumi lain? Semisal peristiwa 11 September 2001 atau gempa bumi di Kobe, Jepang?
Kesamaannya dulu yah; Kesamaannya adalah respon yang ditunjukan oleh masyarakat secara bersama untuk menunjukan solidaritasnya. Setiap orang berupaya menunjukan empati dengan mengumpulkan bantuan dan derma. Mereka bertindak menjadi sukarelawan untuk menolong bagi yang lebih membutuhkan. Meskipun, faktanya sebagian diantara mereka juga adalah korban. Menurut saya ini adalah modal sosial yang baik.
Perbedaannya dengan kejadian di Palu, justru terletak pada penyikapan atau respons pada kejadian. Di sini solidaritas yang terbangun, kera terganggu karena minimnya kepercayaan (trust) dari masyarakat.
Saat banyak bantuan masuk baik dari dalam maupun luar negeri, dari pemerintah pusat maupun daerah atau dari lembaga swadaya masyarakat, bersamanya justru suara sumbang semakin kencang.
Bahkan sampai pada tahap blaming, menyalahkan siapa saja. Termaksud para korban, daerah kejadian bahkan sampai pada peristiwa yang dianggap melatarbelakangi penyebab terjadinya bencana.
Harus diakui, kebersamaan dan solidaritas yang muncul di masyarakat kita, umumnya bersifat instan. Itu membutuhkan upaya besar agar bisa diaktualisasi dalam konteks yang lebih luas. Diperlukan kesamaan dalam memandang pembangunan Kota Palu – yang katanya akan diubah menjadi kota baru dengan bantuan ahli dari luar negeri.
Ini adalah momentum penting untuk Kota Palu di masa mendatang. Tak lagi boleh ada pembangunan yang sekedar direncanakan dan dilaksanakan dengan cuma mengandalkan scientific approach. Di mana semua dilakukan cuma berdasar pendekatan cetak biru pembangunan, namun menegasikan unsur manusia dan pengalaman kedaerahan masa lalu dalam penyusunan rencana pembangunan Kota Palu pasca bencana.
Kejadian saling curiga dan menyalahkan, serta saling tuduh. Itu sebenarnya secara tidak langsung, bisa menguras konsentrasi sosial dan menghilangkan semangat kebersamaan. Menguras energi untuk segera bangkit. Kecurigaan yang berkepanjangan yang dilontarkan melalui media sosial, seperti kasus bantuan rendang dari padang, dan sebagainya.
Sangat berbeda penyikapannya dengan peristiwa bencana besar lainnya, sebutlah peristiwa 9/11. Rakyat Amerika tidak saling menyalahkan. Mereka fokus untuk penyelamatan dan mendukung pemberantasan sumber penyebabnya serta recovery diri.
Lalu, adapula kisah bangsa Jepang, yang diceritakan saat terjadi gempa dan tsunami, di mana ada sebuah restoran yang penuh pengunjung. Saat terjadi bencana, orang berhamburan lari menyelamatkan diri dan belum sempat membayar. Pada saat situasi sudah tenang, satu persatu pengunjung yang lari tersebut datang kembali. Mereka kembali untuk membayar makanan mereka. Itulah kejujuran. Ini adalah sebuah modal sosial maha penting.
Mengapa hal itu bisa terjadi? Jawabannya karena modal sosial yang sudah tertanam baik di masyarakat. Kepatuhan dan kepastian hukum menjadi sangat penting. Orang yang memberi bantuan tunai pasti terjamin secara hukum akan sampai pada yang berhak menerimanya. Tanpa ada syakwasangka akan diselewengkan.
Memang diakui tidak ada solusi yang instan. Saat ini, untuk membuat Kota Palu baru – seperti yang diberitakan di media massa, perlu dimulai dengan membuka dialog antara pemimpin masyarakat, pemerintah pusat dan daerah serta tokoh politik, perlu memulai pembicaraan dari hati ke hati kembali secara intens.
Inisiatif untuk melakukan dialog intens para pejabat pemerintah dan tokoh masyarakat, serta para tokoh civil society lainnya dapat didorong untuk mengambil momentum ini. Itu untuk saling menguatkan ‘thrust'– agar slogan ‘masintuvu kita maroso, morambanga kira marisi,' bersatu kita kuat, bersama kita kokoh, bisa terwujud di alam nyata.
Sekaranglah momentum inisiasi penting itu. Wallahu alam. ***
*Sekretaris Bappeda Kota Palu.