Orang Palu punya satu keterampilan sosial yang, kalau dipertandingkan di Olimpiade, bisa mengalahkan senam artistik atau catur cepat: baku tende. Jangan bayangkan ini semacam baku hantam, karena meskipun ada kata “baku” di dalamnya, tidak ada korban berjatuhan, kecuali mungkin harga diri yang melambung terlalu tinggi setelah dipuji.

Baku tende adalah seni, ilmu, dan kebiasaan yang diwariskan turun-temurun di tanah Kaili. Ini bukan sekadar saling memuji, tapi juga semacam kelas tinggi yang bisa mencairkan suasana, melicinkan negosiasi, bahkan—konon katanya—meluluskan skripsi. Ada yang menganggap ini modus untuk mendapatkan sesuatu, tapi di Palu, ini murni seni berbicara. Seperti sepak bola Brasil: indah, lincah, dan penuh trik.

Coba saja masuk ke warung di beberapa titik kota. Anda akan menemukan orang-orang saling memberi pujian seolah sedang menyiapkan pidato penerimaan Oscar.

“Eh, baju baru, kah? Bah, cocok sekali! Keren kau, kayak artis Korea!”

“Ah, murah saja ini. Di Pasar Inpres banyak ini. Kau yang bajumu bagus itu! Orangnya juga memang sudah keren dari lahir!”

Dan begitulah mereka terus baku tende, saling menambal ego masing-masing sampai kopi jadi dingin. Kalau beruntung, Anda bisa dapat traktiran kopi dari lawan bicara yang sudah terlanjur senang dipuji.

Tapi baku tende tidak selalu terjadi dalam suasana santai. Ini juga teknik bertahan hidup. Misalnya, ketika terlambat masuk kerja:

“Pak Bos, bajumu hari ini luar biasa! Langsung segar saya lihat! Seperti matahari terbit di Pantai Talise!”

Dengan strategi yang matang dan intonasi yang tepat, keterlambatan bisa berubah menjadi momen penghormatan.

Namun, seperti pisau dapur, baku tende punya dua sisi. Jika digunakan berlebihan, bisa membuat orang terlalu percaya diri. Bayangkan seseorang yang biasa dipuji seperti “Mirip model Paris!” tiba-tiba mendapat kritik, pasti syok seperti ikan Bandeng tanpa duri. Baku tende yang sehat adalah yang tulus, tidak berlebihan, dan tidak mengarah pada ekspektasi yang tidak masuk akal. Sebab, kalau terlalu sering dipuji tanpa dasar, nanti ada yang percaya diri ikut audisi Indonesian Idol padahal suara pas-pasan.

Ini pula kerap terjadi di dunia politik, seperti, “kalau ente maju, pasti menang ini. Tinggal siapkan saja doi. Di atas kertas ente menang ini.” Ini kalau saja orang yang di-tende memasukkannya di hati, dia bakalan langsung ambil formulir pencalonan kepala daerah atau anggota legislatif. Padahal bisa saja itu cuma tende – yang terlanjur berlebihan, sebab pada kenyataannya, ia sama sekali tidak punya peluang menang.

Dari sisi ilmiah, baku tende ternyata bermanfaat. Katanya, pujian bisa meningkatkan kadar dopamin di otak, membuat orang lebih bahagia dan percaya diri. Jadi, kalau kita sering saling memuji, secara tidak langsung kita ikut menyehatkan mental orang lain. Ini mungkin yang membuat selalu tampak ceria.

Namun, ada satu aturan tak tertulis dalam baku tende: jangan pernah berhenti pada satu pujian. Pujian itu harus dibalas. Kalau ada yang memuji Anda ganteng, jangan cuma bilang “terima kasih”—itu terlalu miskin budaya! Balas dengan kalimat yang setimpal. Misalnya, “Ah, ini cuma efek cahaya. Kalau kau, memang cahaya alami dari dalam!” Semakin kreatif balasannya, semakin Anda dianggap sebagai master baku tende.

Pada akhirnya, baku tende adalah budaya yang membuat orang Palu ramah, hangat, dan selalu punya cara untuk membuat orang lain tersenyum. Selama masih ada kopi, warung, dan obrolan ringan di pagi, siang atau sore hari, baku tende akan terus hidup, menyatukan orang-orang dalam kebahagiaan yang sederhana, tapi penuh makna. ***