Upaya keras Gubernur Rusdy Mastura untuk menjadikan Desa Talaga, Pantai Barat Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah sebagai salah satu KPN atau Food Estate nasional diapresiasi Kepala Bappeda dan Kadis Kelautan dan Perikanan era Gubernur Longki Djanggola, Dr H Hasanuddin Atjo.
Menurutnya, ide itu harus didukung karena bisa menjadi jalan untuk memuluskan program prioritas seperti penurunan kemiskinan dan peningkatan fiskal.
“Ini menjadi contoh baik dalam tatakelola pembangunan, karena melanjutkan program yang dinilai bermanfaat,” ujar Atjo kepada PaluEkspres, Senin (6/6/2022).
Atjo menilai penetapan Desa Talaga sebagai KPN sangat strategis. Karena; pertama, sebagian wilayah berada di pesisir selat Makassar yang berhadapan langsung dengan IKN di Kalimantan. Jaraknya sekitar 150 mil laut atau (270 km) atau 10-12 jam perjalanan laut.
“Dan ideal sebagai pusat penyebrangan ke IKN baru,” ujar Atjo.
Kedua, Kabupaten Donggala merupakan wilayah dengan angka kemiskinan tertinggi di Sulteng dan telah tiga kali dimekarkan yaitu menjadi Kota Palu, Kabupaten Parigi Moutong dan Kabupaten Sigi.
Ironisnya, kata Atjo, kabupaten induk dan hasil pemekaran, yaitu Parigi Moutong dan Sigi menjadi kontributor utama kemiskinan di Sulteng. “Padahal ketiganya memiliki potensi SDA pangan yang besar,”tandasnya.
Maka itu kata dia, Sulteng tidak boleh berbangga karena pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Indonesia. Sebab, daerah ini masih diperhadapkan dengan jumlah orang miskin sekitar 381.201 orang dan tersebar di 13 kabupaten/kota.
“Ini membutuhkan penanganan menggunakan cara baru, terintegrasi, berkelanjutan, lebih khusus lagi di sektor pangan,” tandas Atjo.
Pertumbuhan ekonomi daerah ini sepanjang tahun 2021 di kisaran 10,41 -10,51 %, jauh di atas rata rata nasional sekitar 5,02 %. Dan lebih disumbangkan oleh pengaruh sektor pertambangan serta industri pengolahannya.
Sedangkan sektor Pertanian-Perikanan- Kehutanan kontribusinya makin kecil, padahal jumlah angkatan kerja yang terlibat di sektor itu sekitar 65%.
Menengok kembali jejak sebelumnya, Tenaga ahli Menko Marvest bidang budidaya perikanan dan inventor teknologi Supra Intensif budidaya udang vaname ini, mengatakan bahwa di Maret tahun 2020, Gubernur Longki Djanggola, juga telah bersurat ke Presiden RI, Joko Widodo terkait keinginan Provinsi Sulteng berperan sebagai salah satu daerah penyangga IKN baru di Kalimantan, diantaranya program pengembangan infrastruktur,SDM dan industrialisasi pangan.
Detail program antara lain adalah peningkatan kondisi jalan maupun status dari utara (perbatasan Prov Gorontalo) ke wilayah Tambu Kabupaten Donggala, dari Selatan perbatasan Sigi dengan Sulsel ke arah Tambu, dan dari Timur yaitu Kasimbar, Kabupaten Parigi Moutong ke arah Tambu di barat.
Usulan pembangunan Pelabuhan Penyebrangan Fery di Kasimbar dan Tambu juga menjadi prioritas yang satu paket dengan konsep pembangun jalan bebas hambatan poros Tambu- Kasimbar.
“Saat itu ramai dibicarakan dengan nama Tol Tambu-Kasimbar. Pada intinya kawasan Tambu-Kasimbar menjadi pusat akumulasi-distribusi barang-jasa serta jembatan penghubung antara AKLI III dan II,” jelas Atjo.
Dengan demikian kata dia, akses distribusi barang dan jasa termasuk pangan dari utara, timur dan selatan Provinsi Sulteng lebih mudah dan cepat tiba di Tambu untuk di proses lebih jauh atau segera diseberangkan menuju IKN baru di Kalimantan Timur.
“Dampaknya semua kabupaten dan kota terkoneksi ke IKN, bermanfaat untuk pemerataan pertumbuhan ekonomi termasuk mengurangi kemiskinan.”
Atjo menegaskan bahwa Sulawesi Tengah memang jangan sampai ketinggalan dari daerah lain, karena sejumlah daerah yang berada di pesisir selat Makassar dan laut Sulawesi juga ingin mengambil peran sebagai penyangga. Kesempatan itu tidak akan datang dua kali, imbuhnya.
Atjo mengatakan Food Estate atau Kawasan Pangan Nusantara telah dicanangkan pada tahun 2020, di Provinsi Kalimantan Tengah oleh Presiden Joko Widodo. Konsep ini dinilai sebagai pengembangan dan perluasan program transmigrasi yang sejak lama menjadi program di sejumlah wilayah pulau Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, Maluku, NTB dan NTT serta Papua. Program ini secara umum membawa banyak perubahan.
Kalau program transmigrasi lebih fokus kepada pemanfaatan lahan dan produksi pada sektor pangan serta pemerataan penduduk, maka Food Estate lebih berorientasi pada peningkatan produksi, value atau nilai tambah produk. Tujuannya agar daya saing produk pangan meningkat dan bisa meningkatkan serta mengurangi pangan impor yang trendnya makin meningkat dari tahun ke tahun.
Ciri dari Food Estate memiliki areal antara 20.000 hingga 30.000 ha, integrasi hulu dan hilir, interkoneksi antarkawasan terhubung dengan baik, menerapkan inovasi-teknologi terkini yang disesuaikan tuntutan era digitalisasi. Atau dengan kata lain mengimplementasikan konsep industrialisasi pangan.
Maka itu, Atjo berpendapat perlu ada
redesain dari KPN, Talaga Pantai Barat Donggala. Menurutnya, Kawasan itu harusnya tidak lagi sebatas kepada fungsi produksi komoditi, tetapi diperluas menjadi salah satu pusat akumulasi maupun distribusi barang dan jasa di Sulawesi Tengah.
Sebab menurut Atjo, menerapkan industrialisasi terbukti dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sejumlah negara.
Di era 1970-an, pendapatan perkapita masyarakat Indonesia kurang lebih sama dengan Korea Selatan dan Malaysia yaitu sekitar USD 840 per tahun. Di tahun 2021 pendapatan perkapita Indonesia baru diangka USD 4.349. Sedangkan Malaysia USD 10.360, dan Korea Selatan sebesar USD 34.743.
Pembeda antara Indonesia dengan Korsel dan Malaysia, bahwa kedua negara tersebut telah menerapkan strategi industrialisasi secara utuh, konsisten berkelanjutan hingga kini. Sementara itu di Indonesia hanya berlangsung singkat antara tahun 1980 dan 1990, dan baru kembali ke arah tersebut dalam dua priode kepemimpinan terakhir.
“Namun ini semua kembali kepada political will dari pengambil kebijakan,” tandas Atjo.
Terakhir, Dr Atjo menambahkan data kemiskinan di Sulteng berdasarkan BPS, bahwa angka kemiskinan di Provinsi Sulteng pada tiga terakhir masih tinggi yaitu di 2018 (14,01 %), 2019 (13,48 %), 2020 (12,92 %), serta di 2021 (12,18 %) atau 381.201 orang. Dan memposisikan Prov. Sulteng sebagai 10 besar (di urutan ke 10) daerah miskin di Indonesia. Dan ini sudah bertahan selama beberapa priode.
Sepuluh daerah termiskin di 2021 menurut BPS yaitu Papua sebesar (27,38%); Papua Barat (21,82%) ; NTT (20,44%); Maluku (16,30%); Aceh (15,53%); Gorontalo (15,41%); Bengkulu (14,43%); NTB (13,83%); Sumsel (12,79%); dan Prov. Sulteng sebesar (12,18%).
“Sudah tentu semua berharap, kiranya daerah ini bisa keluar dari perangkap status 10 besar daerah miskin,”tandasnya.
Empat kabupaten di Prov. Sulteng berkontribusi terhadap tingginya kemiskinan yaitu kab. Donggala, Tojo Unauna, Parigi Moutong dan Sigi. Di tahun 2018 kemiskinan di kab. Donggala sebesar ( 18,03 %); 2019 (18,40 %); dan 2020 (17,39 %) serta 2021 (16,35 %, proyeksi). ***