Bagi Walter Alexander Kaudern, seorang ahli hewan dan etnografi asal Swedia, Sulawesi, utamanya Sulawesi Tengah bak surga bagi riset ilmiahnya. Ilmuwan yang lahir Stockholm pada 24 Maret 1881 dan mangkat pada 16 Juli 1942 itu pada 1916 – 1921 melakukan sejumlah rangkaian ekspedisi di Sulawesi yang masih bernama Celebes di masa itu.
Itulah yang menjadi tiketnya menjadi Direktur Göteborgs stadsmuseum atau Museum of Gothenburg pada 1933. Museum yang masih berdiri hingga kini itu adalah salah satu museum budaya dan sejarah terbesar di Swedia, bahkan dunia. Kini museum itu lebih dikenal sebagai The National Museum of World Culture atau Världskulturmuseet.
Pada Desember 1916, bersama istrinya, Teres Kaudern dan dua anaknya, Sven Alexander and Johan Valter melancong ke Celebes bagian utara, tengah dan timur. Perjalanan riset bertajuk Expedition to Celebes itu didanai Prince Gustaf Adolf, Duke of Västerbotten dari Swedia.
Saat itu mereka menetapkan misi risetnya untuk pengayaan pengetahuan tentang hewan-hewan di Sulawesi, namun kemudian berubah setelah berbicara dengan penduduk lokal saat itu. Kaudern dan Teres kemudian memutuskan untuk mengeksplorasi budaya dan kehidupan keseharian orang Celebes saat itu.
Saat kembali ke Swedia, mereka membawa serta 3000 obyek, ratusan frame foto, lukisan cat minyak, sketsa, grafis, serta beragam hal lainnya. Saat ini, sejumlah hasil dan dokumentasi risetnya itu disimpan di Museum of World Culture, di Gothenburg.
Hasil risetnya dipublikasi dalam serial buku Ethnographical Studies in Celebes. Sementara material terkait ilmu hewan tersimpan dengan rapi di Gothenburg Natural History Museum.
Dalam salah satu seri buku Ethnographical studies in Celebes: Results of the author’s expedition to Celebes 1917–1920, vol. 1: Structures and settlements in Central Celebes, Kaudern banyak menulis, membuat foto, gambar, lukisan, grafis dan sketsa soal struktur dan permukiman di Sulawesi Tengah.
Ia menulis soal tambi, lobo, ukiran-ukiran kayu di pintu atau tiang rumah, susunan atap, rancang bangun rumah tinggal dan hal lainnya. Yang menarik, secara khusus ia menulis soal dinding Pitate, atau dinding dari anyaman bambu di daerah Bola Papu, Benahu, Kanuna dan Siwongi di Kulawi, Sigi. Kaudern menuliskan dan membuat foto serta sketsa tipe-tipe rumah yang dijumpainya di Lembah Palu dan Sigi di masa itu.
Ia memotret Tambi, rumah warga yang memakai dinding Pitate pada Juli 1918 di Bolapapu. Ia pun mengidentifikasi tiga jenis anyaman yang umum dipakai di daerah Kulawi saat itu.
Pada halaman 60 buku Ethnographical studies in Celebes: Results of the author’s expedition to Celebes 1917–1920, vol. 1: Structures and settlements in Central Celebes, Kaudern membuat sketsa jenis pitate itu.
Seperti yang terlihat pada gambar Kaudern, ada anyaman pitate yang membentuk pola diagonal, lalu lurus bergelombang dengan bilah bambu yang sama ukurannya, polanya vertikal dan horisontal dan kemudian pola yang sama dengan bilah bambu vertikal yang ukurannya lebih kecil dari bilah horisontal.
Sepanjang pengetahuan saya, ini adalah riset ilmiah pertama – dan mungkin terakhir – tentang pitate. Saya tak menemukan lagi riset setelahnya.
Sungguh menarik. Kisah tentang pitate sudah terbawa jauh hingga ke Swedia, negara kerajaan di Eropa Utara itu. Kita sekarang tinggal membacanya di dokumen-dokumen sejarah yang justru tersimpan jauh di negeri orang. ***