Seorang perempuan rupawan, jangkung dan penuh kehangatan dengan lentera minyak hilir mudik di tengah gulita Semenanjung Krimea, Rusia yang tengah didera perang.  

Perempuan ini dijuluki oleh tentara sekutu (Inggris, Prancis, Turki, dan Sardinia) yang tengah berperang dengan Rusia sebagai The Lady With The Lamp, Bidadari Berlampu. Ia menyusuri petak demi petak medan perang berbahaya itu untuk merawat para tentara yang terluka. 

Perempuan itu bernama Florence Nightingale. Ia lahir di Firenze, Italia pada 12 Mei 1820. Kelak ia dikenang sebagai pelopor keperawatan modern. Meski sebenarnya perempuan rupawan dan kaya raya ini berlatarbelakang ahli statistik.

Tentu saja, karena ini adalah medan perang, bahaya terus mengintainya. Ia pun sedapat mungkin selalu hati-hati. Soal standar dalam perawatan, dan perlindungan kepada para perawat dalam perang, saat bertemu dengan Ratu Inggris, Alexandrina Victoria (1819-1901) diungkapkannya. Itu pun menjadi perhatian Kerajaan Inggris.

Florence sadar benar, bahwa ia tak bisa bekerja sendiri. Dukungan dari Kerajaan diperlukannya untuk memastikan apa yang sudah dirintisnya menjadi kebijakan yang menyeluruh. 

Perang Krimea yang berlangsung sejak 1853-1856 benar-benar menjadi media belajar dan praktik bagi seorang Florence. Sampai kemudian apa yang menjadi cita-citanya, juga menjadi kebijakan pemerintah Kerajaan Inggris.

Ia terus-menerus meyakinkan Kerajaan akan pentingnya kebersihan tempat perawatan serta nutrisi yang memadai baik buat perawat maupun pasien harus diperhatikan dengan saksama.

Perjuangannya pun berhasil. Bahkan apa yang ditulis oleh Florence di sela-sela kesibukannya, kini menjadi buku pedoman keperawatan yang dipakai di seantero dunia. Florence mangkat pada 13 Agustus 1910 di Mayfair, London.

Pada 105 tahun kemudian, setelah mangkatnya Florence, seorang perempuan datang sendirian ke . Tentu, ia dan Florence tak saling kenal. Hanya saja, mereka disatukan oleh semangat yang sama: Kemanusiaan. Ia menyeberang ke pulau-pulau di tanah Maluku nan indah. Melintasi lautan yang kerap tersapu badai, siang malam tak hirau. Ia berani, bahkan terlalu berani dan sudah tentu peduli.

Tentang dan CCI

Nama perempuan itu adalah Dwi Prihandini. Perempuan jangkung kelahiran Jember, Jawa Timur, pada 9 September 1973 itu mendedikasikan waktu, pikiran, tenaga dan kekayaannya untuk kaum disabilitas dan marginal, baik secara sosial maupun ekonomi di Maluku. 

Kisah perempuan ini dimulai pada 2015. Di Pulau Saparua, Kabupaten Maluku Tengah, ia bertemu anak penyandang disabilitas bernama Ane Latuperissa. Ia kemudian menjadikan Ane sebagai anak asuhnya dan mencukupi kebutuhan sandang pangan dan bantuan lainnya.  

Suatu waktu, ia bertandang ke Kepulauan Aru. Ia harus menghabiskan waktu berjam-jam untuk bisa sampai di situ. Di sana, ia menemui seorang anak penyandang disabilitas yang tergolek lemah dan sendirian di atas papan. Ia membawakan anak ini sebuah kursi roda.

Tentu saja kebutuhan makanan pokok disediakannya pula. Sebab ia mencatat, selain persoalan disabilitas itu, kondisi ekonomi, kekurangan pangan dan sebagainya jadi masalah mendasar.

“Saat itu dia tergolek sendirian di papan. Saya tanya orang tuanya ke mana? Di kebun mencari hasil bumi untuk mereka jual,” kata Dwi Prihandini pada satu waktu. 

Dini, begitu perempuan ini disapa terpukul. Pada 27 Januari 2016, ia mendirikan Clerry Cleffy Institute (CCI) di Ambon. Nama institute itu merujuk pada mendiang suaminya, Clerry Cleffy Mailuhu.

CCI berfokus pada bidang psikologi dan kemanusiaannya. Tujuannya untuk pengembangan diri masyarakat di Maluku, khususnya anak-anak, remaja dan perempuan.

Tahun ini, 7 tahun sudah perempuan berdarah Madura ini malang melintang sendirian melintasi pulau demi pulau terluar Maluku demi melayani 512 orang disabilitas yang dia temui selama perjalanannya. Kadang kursi roda dan alat bantu berjalan yang dia bawa, dipikulnya sendiri, bonceng motor melintasi hutan demi mencapai desa-desa yang dia tuju. 

Rupanya, Dini memang mengabadikan cintanya pada suaminya itu dengan mengejawantahkan cintanya pada Tanah Maluku dan kemanusiaan. Di laman situs pribadinya, ia menulis: “The Deepest pain of losing, empowers me to grow.” – “Rasa sakit terdalam karena kehilangan, memberikan kekuatan saya untuk bangkit.”

Tujuannya tak bisa ditawar lagi; Misi kemanusiaan untuk membantu kaum disabilitas dan perempuan marjinal di pelosok Maluku. Ia menyebutkan mereka ini tidak pernah mendapatkan perhatian dari pemerintah atau pihak manapun jua.

Olehnya, institute yang dibangunnya memfokuskan pelayanannya kepada kaum marjinal dan penyandang disabilitas. Dalam pejalanannya, Dini juga menemukan banyak kasus perempuan marginal, yang kemudian diberikannya modal usaha agar dapat bangkit dan berdiri di kakinya sendiri.

Menurutnya, tingkat kemiskinanlah yang juga menyebabkan keterbatasan akses pendidikan dan pemenuhan hidup sehari-hari bagi kelompok tersisih ini. Sementara negara, dalam hal ini pemerintah daerah tak hadir di sana. 

Mengabdi untuk Kemanusiaan hingga Akhir Hayat

“Maluku itu indah tapi di balik keindahannya banyak anak-anak yang harus mendapat perhatian. Anak-anak dengan kondisi disabilitas. Itu kesimpulan saya,” ungkap Dini pada media yang menanyai soal mengapa ia harus berbakti untuk Maluku.

Mengutip Kantor Berita Antara Ambon, Dini menyebutkan, ia tidak berbicara pada level Kota Ambon, karena pasti sudah sangat terjangkau. Namun dia bicara pada soal anak-anak di pulau-pulau kecil yang tersebar di Jazirah Moloku Kie Raha ini. Terutama soal kesehatan dasar dan pendidikan bagi anak-anak penyandang disabilitas di daerah pelosok.

“Jangankan untuk pendidikan. Kita bicara soal kebutuhan dasar, untuk makan dan minum saja mereka menurut saya kondisinya sangat marjinal,” kata Dini saat itu.

Perempuan yang mengidolakan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti ini bilang, “Alam Maluku sangat indah bagai kisah surga, sayangnya di balik keindahannya banyak hal yang harus dirawat, salah satunya kemanusiaan.” 

Kalimat itu ditukil dari akun Instagramnya @shedini909 dalam perjalanan pelayanan kemanusiaannya di Kabupaten Maluku Barat Daya, Maluku.

Perjalanan pelayanan Dini di Maluku sungguh tidak main-main. 

Luaran strata dua Psikologi Universitas Indonesia ini memang memfokuskan pelayanan kemanusiaannya ke pulau-pulau terluar di Provinsi Maluku, yakni Maluku Barat Daya, Kepulauan Tanimbar dan Kepulauan Aru.

Tiga wilayah terluar ini menjadi prioritasnya. Alasannya jelas, penyandang disabilitas dan kaum marjinal di tiga wilayah terluar tersebut belum tersentuh kehadiran pemerintah. Di sana bermuka-muka dengan penyandang disabilitas dan kaum marjinal. Bertemu langsung melihat kondisi mereka. 

Risiko perjalanan antarpulau menggunakan moda transportasi laut, seperti speedboat atau perahu motor selalu dihadapinya. Badai kerap mengadang perjalanan. Belum lagi jalan darat di malam hari di tengah gulita tanpa penerangan listrik. Ditambah lagi , Dini jugaa harus membawa kebutuhan makanan pokok untuk asupan gizi anak-anak penyandang disabilitas yang dia layani. 

“Jika dikalkulasi sudah lebih dari Rp4,2 miliar yang saya kucurkan untuk membantu kaum disabilitas dan marjinal di Maluku. Tapi ini bukan soal seberapa besar uang yang dihabiskan, ini soal misi kemanusiaan ini yang harus terus berlanjut sepanjang hayat di kandung badan,” tutur Dini. 

Lantas adakah dukungan pemerintah daerah? Itulah yang  menjadi perhatian  dari orang-orang yang mendukung aksi kemanusiaan Dini. Tak hadirnya negara dalam persoalan kemanusiaan di kepulauan, terasa pula oleh Dini dan tim CCI, namun Dini tidak ingin mempolitisir pelayanan kemanusiannya. 

Pasal 34 UUD 1945 seolah tak punya tuah. UU Nomor 13 Tahun 2011 tentang Fakir Miskin berujud di Kepulauan. UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas pun tak sakti. Di pulau pulau terluar Maluku, bicara tentang pendidikan bagi anak-anak penyandang disabilitas seperti bicara tentang akan pergi jalan jalan ke Mars, terlalu jauh. Kebutuhan dasar sandang pangan dan kesehatan dasar anak-anak penyandang disabilitas ini belum terpenuhi. 

Padahal diktum hukum negara itu sudah menjelaskan posisi kaum fakir miskin dan disabilitas, dan bagaimana negara harus terlibat mengurusi mereka.

Saat ini, ada Dini, yang berkeliling ke pulau pulau terluar Maluku itu untuk memberikan pelayanannya, tapi apa yang dilakukan Dini seharusnya menjadi perhatian para pengelola negara yang menjalankan mandat Undang-undang.

Seperti Florence yang sadar benar, bahwa ia tak bisa bekerja sendiri. Dukungan dari Kerajaan diperlukannya untuk memastikan apa yang sudah dirintisnya menjadi kebijakan yang menyeluruh. 

Dini juga sadar, apa yang sudah dia mulai dengan penuh perjuangan di pulau-pulau terluar Maluku, perlu dilanjutkan oleh pengelola negara. 

Negara sudah punya kebijakan dan dasar hukumnya. Itu agar beragam aturan perundangan itu tak cuma menjadi dokumen kosong tanpa implementasi. ***