Hari itu, langit Gunung Keramat tampak cerah. Bayu, Aria, Nara, dan Lili – empat sahabat yang selalu bersama dalam petualangan—bersiap mendaki dengan semangat yang menggebu-gebu. Mereka telah lama merencanakan kemping ini, dengan janji penuh rahasia dan keajaiban yang menunggu di gunung itu.

“Aku tidak sabar untuk memasang tenda dan membuat api unggun,” ujar Bayu, yang paling tua dan selalu penuh ide.

“Aku lebih tidak sabar lagi untuk berburu cerita seram di malam hari,” tambah Aria, si pemberani yang selalu suka mencari tantangan.

Nara, yang lebih tenang dan penuh perhitungan, memeriksa kembali yang dibawanya. “Di sini katanya ada situs megalit yang belum banyak diketahui orang. Peninggalan kuno. Aku harap kita bisa menemukannya.”

Sementara itu, Lili, yang paling muda dan ceria, tersenyum lebar sambil membawa ranselnya yang penuh perbekalan. “Aku hanya ingin kita bersenang-senang dan mungkin… menemukan sesuatu yang luar biasa!”

Mereka mendaki dengan semangat. Jalur menuju puncak Gunung Keramat agak terjal, tapi pemandangan begitu indah. Burung berkicau di antara dedaunan hijau, dan angin bertiup lembut membawa wangi pepohonan pinus. Setelah beberapa jam berjalan, mereka tiba di sebuah dataran yang cukup luas, tempat yang ideal untuk mendirikan tenda.

“Kita istirahat di sini dulu,” kata Bayu. “Nanti setelah makan siang, kita bisa mulai menjelajahi sekitar.”

Setelah menyantap bekal yang dibawa oleh Lili, mereka mulai menjelajah. Nara memimpin dengan peta di tangannya. Mereka mengikuti jalur kecil yang tertutup semak, sampai akhirnya tiba di sebuah kawasan yang tampak agak aneh.

“Apa itu?” Lili berbisik sambil menunjuk ke arah bebatuan besar yang tersusun rapi di tengah hutan. Bebatuan itu terlihat sangat tua, penuh dengan lumut, dan ada ukiran-ukiran aneh di permukaannya.

“Ini pasti situs megalit yang aku baca di buku,” kata Nara dengan mata berbinar. “Tapi… kenapa tidak ada catatan resmi tentang ini?”

Aria mengamati batu-batu itu dengan saksama. “Sepertinya ada lebih dari yang terlihat. Lihat ukiran ini, seperti menuntun kita ke sesuatu,” katanya sambil menunjuk pola spiral yang tampaknya membentuk jalan setapak.

“Apakah kita akan mengikutinya?” tanya Lili dengan mata membesar, setengah penasaran, setengah takut.

“Tentu saja,” jawab Bayu. “Ingat, kita adalah petualang! Dan petualang tidak pernah mundur!”

Mereka mengikuti jalan setapak itu, semakin dalam ke dalam hutan. Jalan semakin gelap, tapi semangat mereka justru makin berkobar. Semakin mereka berjalan, semakin terasa bahwa mereka tidak sendirian di tempat itu. Ada suara-suara aneh, seperti gemerisik dedaunan dan desahan angin yang seolah berbisik.

Tiba-tiba, mereka sampai di sebuah area terbuka yang lebih besar. Di sana ada sebuah batu besar yang berbeda dari yang lain—lebih tinggi, lebih hitam, dan di atasnya terdapat sebuah prasasti yang seolah-olah baru saja diukir.

“Lihat, ini tulisan kuno!” seru Nara, berjongkok untuk membaca lebih dekat.

“Ya, tapi lihat lebih dekat… ada sesuatu yang tergores di sebelah tulisan itu,” tambah Aria.

Mereka semua mendekat, memandang goresan itu dengan cermat. Goresan itu tampak seperti… peta!

“Sepertinya kita baru saja menemukan awal dari petualangan baru,” kata Bayu dengan senyum penuh misteri.

itu tak menyadari bahwa di balik semak-semak, sepasang mata mengawasi mereka dengan penuh perhatian… (Bersambung ke Empat Sekawan dan The Shadow Seekers: Jejak Misterius di Tengah Malam)