terus menyusuri tepi sungai kecil yang mengalir deras. Air dingin menyentuh kaki mereka, memberikan sedikit kesegaran di tengah rasa lelah dan ketegangan yang mereka rasakan. Matahari mulai terbenam, membuat bayang-bayang pepohonan tampak semakin panjang dan menyeramkan.

“Apa kalian mendengar itu?” bisik Lili tiba-tiba, menghentikan langkahnya. Yang lain berhenti sejenak, memasang telinga.

“Hanya suara sungai,” gumam Bayu, meskipun ia tampak khawatir. “Tapi kita harus tetap waspada. Para pengejar mungkin masih berada di dekat sini.”

Mereka melanjutkan langkah dengan lebih hati-hati, menghindari bunyi gemerisik di dedaunan dan melangkah pelan-pelan di sepanjang tepian berbatu. Aria berjalan di depan, matanya tajam mencari tanda-tanda bahaya. Setelah beberapa waktu, mereka tiba di sebuah persimpangan sungai yang lebih lebar dan lebih dalam, tampaknya sulit untuk diseberangi.

“Apa kita harus menyebrang?” tanya Nara, melihat arus deras yang memecah batu-batu besar. “Tapi jika kita melakukannya, jejak kita pasti akan hilang.”

“Tepat,” kata Aria sambil menatap sungai. “Ini akan menghilangkan jejak kita, tapi kita harus sangat hati-hati. Arusnya cukup kuat.”

Sebelum mereka sempat memutuskan, terdengar suara gemerisik dari semak-semak di seberang sungai. Mereka segera berjongkok, bersembunyi di balik semak-semak tebal di tepi sungai. Dari balik dedaunan, mereka melihat sosok yang tak terduga muncul: Pak Herman, penjaga hutan yang mereka temui di awal petualangan mereka!

“Pak Herman?” bisik Bayu, hampir tidak percaya. “Apa yang dia lakukan di sini?”

Lili mencoba mendekatkan dirinya ke Bayu untuk mengintip. “Apa mungkin dia bekerja sama dengan ?” bisiknya dengan suara pelan.

Aria menggeleng. “Kita tidak bisa tahu pasti,” katanya, “Tapi kita harus tetap waspada. Jika dia di pihak kita, mungkin kita bisa meminta bantuannya. Jika tidak… kita harus segera pergi.”

Mereka memutuskan untuk menunggu, memperhatikan gerakan Pak Herman. Penjaga hutan itu tampak cemas dan sering kali melihat sekelilingnya, seakan sedang mencari seseorang atau sesuatu. Setelah beberapa saat, ia berhenti di tepi sungai dan memanggil dengan suara pelan, “Hai, kalian di sana?”

Empat sekawan saling pandang dengan ragu. Namun, Nara merasa ada sesuatu yang bisa dipercaya dari nada suaranya. “Ayo coba bicara padanya,” kata Nara, “Tapi tetap berhati-hati.”

Dengan hati-hati, Bayu berdiri dan melangkah keluar dari balik semak-semak. “Pak Herman?” panggilnya, “Ini kami, Bayu dan teman-temanku. Kenapa Anda ada di sini?”

Pak Herman tampak lega melihat mereka. “Oh, syukurlah kalian selamat! Aku mencarimu. Profesor Darmawan menyuruhku mencarimu. Kalian harus keluar dari hutan ini dengan cepat. Ada orang-orang berbahaya yang sedang mengejarmu.”

“Kami tahu,” kata Aria sambil berjalan mendekat bersama yang lainnya. “Kami melihat mereka. Tapi, bagaimana Anda tahu tentang mereka, Pak?”

Pak Herman menarik napas dalam-dalam. “Aku bekerja dengan Profesor Darmawan,” katanya. “Dia telah lama meneliti situs megalit itu dan tahu bahwa ada pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab ingin mendapatkan Kunci Kehidupan. Ketika mereka datang ke rumahnya, Profesor berhasil mengalihkan perhatian mereka dan mengirimku untuk membantumu.”

“Tapi Profesor bagaimana?” tanya Lili khawatir. “Apakah dia selamat?”

Pak Herman mengangguk. “Dia baik-baik saja, untuk saat ini. Tapi waktu kita tidak banyak. Kita harus segera pergi dari sini dan menuju tempat aman. Ada pondok kecil di dekat puncak Gunung Guntur yang bisa kita gunakan untuk bersembunyi sementara.”

Empat sekawan saling berpandangan, merasa lega sekaligus khawatir. “Baiklah, kami ikut Anda, Pak Herman,” kata Nara. “Tapi kita harus cepat. Mereka mungkin masih berada di belakang kita.”

Dengan hati-hati, mereka menyeberangi sungai di bawah panduan Pak Herman, melawan arus yang deras. Setelah berhasil mencapai sisi lain, mereka segera berlari melintasi hutan, mengikuti Pak Herman menuju arah puncak gunung.

Namun, belum lama mereka berjalan, suara langkah kaki terdengar mendekat dari arah belakang. Bayu menoleh dan melihat beberapa sosok bayangan muncul di kejauhan, jelas terlihat bahwa mereka adalah anggota dari The Shadow Seekers.

“Mereka menemukan kita!” teriak Bayu, dan mereka semua segera berlari lebih cepat.

Pak Herman memimpin jalan, menembus hutan dengan cekatan. “Kita harus mencapai pondok itu secepatnya!” katanya dengan nada mendesak.

Mereka berlari dengan segenap tenaga, melompati akar-akar pohon, meniti jalan setapak yang sempit dan berkelok. Terdengar suara-suara berteriak di belakang mereka, semakin mendekat.

“Pak Herman, kita akan segera sampai?” tanya Aria dengan napas terengah-engah.

“Tidak jauh lagi,” jawab Pak Herman. “Lihat! Di sana!”

Di kejauhan, di balik pepohonan, mereka bisa melihat sekilas atap pondok kayu kecil yang tersembunyi di antara dedaunan lebat. Mereka berlari dengan sisa tenaga mereka, berharap bisa mencapai pondok itu sebelum para pengejar mengejar mereka.

Namun, saat mereka mendekati pondok, suara langkah kaki para pengejar semakin dekat. Mereka hanya beberapa meter di belakang!

Dengan jantung berdebar kencang, mereka akhirnya mencapai pondok. Pak Herman membuka pintu dengan cepat, dan mereka semua masuk ke dalam. Ia segera menutup dan mengunci pintu, kemudian merapatkan diri ke jendela, mengintip keluar.

“Apakah mereka melihat kita masuk?” tanya Lili dengan napas tersengal-sengal.

“Ssst!” sahut Pak Herman. “Jangan bicara terlalu keras. Kita tidak tahu pasti, tapi sepertinya mereka kehilangan jejak kita untuk sesaat.”

Empat sekawan berdiri diam, mencoba mengatur napas dan menenangkan diri. Suara-suara di luar mulai mereda, namun mereka tahu bahwa mereka belum benar-benar aman. Mereka bersembunyi dalam diam, menunggu dengan tegang, siap menghadapi apa pun yang akan terjadi.

Bersambung ke Empat Sekawan dan The Shadow Seekers (11): Pondok Rahasia dan Bahaya yang Mendekat.