Setelah menemukan peta terukir pada batu hitam itu, Bayu, Aria, Nara, dan Lili memutuskan untuk kembali ke tenda mereka. Langit sudah mulai gelap, dan malam perlahan menyelimuti Gunung Keramat. Mereka menyusun rencana untuk kembali esok pagi dan menjelajahi lebih jauh.

“Aku yakin peta ini menunjukkan sesuatu yang penting,” ujar Nara sambil mengamati foto peta yang ia ambil dengan kamera. “Tapi kita perlu lebih banyak cahaya untuk memeriksa detailnya.”

Mereka mendirikan api unggun, dan saat nyala api menari di antara pepohonan, suasana menjadi lebih hangat dan nyaman. Mereka berbagi cerita, tertawa, dan menikmati secangkir cokelat panas yang disiapkan Lili. Tetapi, dalam hati mereka, rasa penasaran terus bergejolak.

Malam itu, suara-suara dari hutan menjadi semakin jelas. Ada suara ranting patah, gemerisik dedaunan, dan sesekali terdengar seperti langkah kaki ringan. Bayu yang duduk agak jauh dari api, mengernyitkan dahinya.

“Kalian mendengar itu?” tanyanya.

“Apa? Angin?” jawab Aria, mencoba untuk terdengar tenang meskipun telinganya juga menangkap suara yang aneh itu.

“Bukan angin… lebih seperti… langkah kaki seseorang,” bisik Nara. Lili memegang erat lengannya, merasakan detak jantungnya makin cepat.

“Mungkin binatang liar?” Lili mencoba mencari alasan lain, meskipun ia sendiri merasa tidak yakin.

Mereka semua terdiam sejenak, memperhatikan dengan seksama suara-suara itu. Tiba-tiba, terdengar suara ranting yang patah lebih keras, diikuti oleh suara gemerisik yang mendekat dengan cepat.

“Siapa di sana?!” seru Aria dengan suara tegas. Tidak ada jawaban, hanya keheningan yang lebih pekat dari sebelumnya. Mereka menunggu dengan cemas, tetapi tidak ada yang muncul. Suara itu berhenti seolah-olah menghilang begitu saja ke dalam kegelapan.

“Ini aneh,” kata Bayu, meraih senter dari ranselnya. “Aku rasa kita harus memeriksa sekitar.”

“Setuju,” kata Aria, selalu siap untuk menghadapi apa pun. “Ayo, kita periksa.”

Namun, Nara menggeleng. “Tidak, sebaiknya kita tetap di sini. Jika ada yang bersembunyi, kita tidak tahu berapa banyak mereka. Lebih baik kita tetap bersama.”

Mereka akhirnya memutuskan untuk tetap di tempat dan berjaga-jaga. Waktu berlalu perlahan, dan suara-suara aneh itu tidak terdengar lagi. Tetapi, mereka semua merasa ada sesuatu yang tidak beres.

Tengah malam, ketika mereka hampir terlelap, tiba-tiba Lili terbangun dan melihat bayangan samar bergerak di pinggir kemah mereka. Bayangan itu tampak seperti seseorang yang berjongkok, mengamati mereka dari jauh.

“Ada… ada orang!” Lili berbisik, suaranya hampir tidak terdengar karena takut.

Bayu segera menyalakan senter dan mengarahkannya ke arah bayangan tersebut. Namun, yang mereka lihat hanyalah dedaunan yang bergerak perlahan diterpa angin malam. Bayangan itu lenyap begitu saja.

“Ini mulai menyeramkan,” gumam Aria. “Mungkin kita harus menunggu sampai pagi untuk melanjutkan pencarian.”

Namun, sebelum mereka sempat membalas, terdengar suara bisikan halus di udara, seperti seseorang yang berbicara dalam bahasa kuno. Suara itu datang dari arah situs megalit yang mereka temukan tadi.

“Aku tidak suka ini,” kata Nara dengan wajah pucat. “Apa mungkin kita… mengganggu sesuatu?”

Tetapi Bayu, dengan mata yang bersinar penuh tekad, berkata, “Mungkin justru itu. Mungkin kita telah memulai petualangan yang lebih besar daripada yang kita duga.”

Mereka saling berpandangan, merasakan semangat petualangan yang mulai membara di dalam dada mereka. Apa pun yang menunggu mereka di sana, mereka siap menghadapinya bersama.

Malam itu, mereka memutuskan untuk berjaga bergiliran, berharap fajar segera tiba. Namun, saat mereka terlelap satu per satu, satu jejak kaki misterius tampak membekas di sekitar tenda mereka, seolah-olah seseorang atau sesuatu telah mengitari mereka dalam keheningan malam…(Bersambung ke Empat Sekawan dan Empat Sekawan dan The Shadow Seekers (3): Misteri Peta dan Jejak Kaki di Gunung)