Ketika fajar menyingsing di , sinar matahari pertama mulai menyusup di antara pepohonan. Bayu, Aria, Nara, dan Lili terbangun dengan perasaan lega bercampur waspada. Suara-suara aneh di malam hari masih terngiang di telinga mereka, dan mereka tidak sabar untuk segera memeriksa sekeliling.

“Ada sesuatu di luar sana semalam,” kata Aria, matanya menatap tajam ke arah jejak kaki samar yang mengitari tenda mereka.

“Lihat jejak ini,” tambah Bayu sambil jongkok dan menyentuh tanah. “Seperti jejak sepatu… tapi aneh, bentuknya terlalu kecil untuk ukuran orang dewasa.”

Lili menggigil sedikit. “Apa mungkin ini… bukan jejak manusia?”

Nara menggeleng sambil memeriksa jejak itu dengan lebih teliti. “Tidak, ini pasti jejak manusia. Tapi, kenapa ada di sini? Dan siapa yang mau berkeliaran di tengah malam di tempat terpencil ini?”

Bayu berdiri dan menatap ketiga temannya. “Hanya ada satu cara untuk mengetahuinya,” katanya. “Kita harus kembali ke situs megalit itu dan melihat lebih dekat. Mungkin ada petunjuk lain di sana.”

Mereka berkemas dengan cepat dan menyusuri jalan setapak yang mereka temukan kemarin. Matahari pagi menyinari pepohonan, dan hutan terasa lebih hidup, namun mereka tetap merasa seperti ada yang mengintai dari balik bayangan.

Setelah beberapa saat berjalan, mereka tiba kembali di tempat di mana batu hitam besar dengan peta misterius itu berada. Namun, kali ini ada sesuatu yang berbeda. Di dekat batu itu, mereka menemukan benda kecil yang tertinggal di tanah—sebuah buku catatan tua dengan sampul lusuh dan kunci kecil yang tergantung di sampingnya.

“Apa ini?” tanya Lili, memungut buku itu dengan hati-hati. “Kelihatannya sudah lama sekali.”

Aria mencoba membuka buku itu, tapi kuncinya terkunci rapat. “Kita perlu menemukan kunci yang pas untuk ini. Mungkin di dalamnya ada petunjuk lebih lanjut.”

Bayu mengamati peta yang terukir di batu sekali lagi. “Lihat, di bagian bawah peta ini ada simbol yang mirip dengan kunci. Mungkin ini menunjukkan di mana kunci itu berada.”

Nara mengangguk setuju. “Simbol itu mirip sekali dengan tanda di batu besar di sebelah barat sini, lihat—ada lekukan kecil berbentuk kunci di sana. Ayo kita periksa.”

Mereka bergerak cepat menuju batu yang dimaksud. Begitu sampai, mereka menemukan lekukan kecil berbentuk kunci di bagian bawahnya. Aria meraba lekukan itu dengan jari-jarinya, merasakan sedikit celah. Dengan perlahan, dia menyentuh celah tersebut, dan tiba-tiba sebuah bagian kecil dari batu itu bergerak, membuka sebuah ruang rahasia.

“Lihat!” seru Lili, matanya membesar. “Ada sesuatu di dalamnya.”

Dari celah kecil di dalam batu, mereka menarik keluar sebuah kunci kecil berkarat. Itu adalah kunci tua dengan desain rumit, tampak cocok dengan buku catatan yang mereka temukan.

“Nara, kau yang membuka,” kata Aria dengan napas tertahan, menyerahkan kunci kepada Nara. Dengan tangan sedikit gemetar, Nara memasukkan kunci itu ke dalam lubang kunci buku catatan.

Klik!

Buku itu terbuka, dan halaman-halamannya dipenuhi tulisan tangan yang sudah memudar dan beberapa peta kecil. Mata mereka membelalak ketika membaca tulisan di halaman pertama:

“Barang siapa menemukan buku ini, ketahuilah, di balik situs megalit ini tersimpan rahasia besar. Sebuah rahasia yang dapat mengubah sejarah… atau membahayakan nyawa.”

“Wow,” bisik Bayu, suaranya serak. “Ini lebih besar dari yang kita bayangkan.”

Nara membalik halaman berikutnya. Ada gambar peta lain dengan tanda “X” besar di tengahnya. “Ini terlihat seperti lokasi lain yang belum kita datangi. Kita harus pergi ke sana,” katanya penuh semangat.

Namun, sebelum mereka bisa beranjak, tiba-tiba suara langkah kaki terdengar semakin dekat dari arah hutan. Mereka semua menoleh, hanya untuk melihat bayangan seseorang muncul di antara pepohonan.

“Ada orang lain!” bisik Aria, meraih tangan Bayu.

Bayu segera mengarahkan senter ke arah bayangan itu, dan mereka melihat seorang lelaki tua berjanggut putih keluar dari balik semak-semak. Matanya tajam, dan ia tampak terkejut melihat keempat anak itu.

“Kalian tidak seharusnya ada di sini!” seru lelaki tua itu dengan suara tegas. “Kalian harus pergi sebelum terlambat!”

“Terlambat? Terlambat untuk apa?” tanya Bayu dengan keberanian yang tiba-tiba.

Lelaki itu mendekat, matanya melirik ke arah buku catatan yang dipegang Nara. “Buku itu… Itu milik saya! Bagaimana bisa kalian menemukannya?”

itu saling berpandangan. “Mungkin kami akan memberitahumu… jika kau bisa menjelaskan kenapa ada jejak kaki di sekitar kemah kami tadi malam,” jawab Aria dengan suara penuh tantangan.

Lelaki tua itu tersenyum tipis. “Jejak kaki itu bukan milikku… tapi milik mereka yang ingin menghalangimu. Kalian tidak tahu apa yang kalian hadapi…”

“Siapa mereka?!” tanya Lili, setengah takut dan setengah penasaran.

Lelaki itu menatap mereka satu per satu dengan mata penuh rahasia. “Kalian akan segera tahu… jika kalian berani melanjutkan.” (Bersambung ke Empat Sekawan dan The Shadow Seekers (4): Perjalanan ke Lokasi Terlarang)