Empat sekawan berdiri kaku, menatap lelaki tua misterius di hadapan mereka. Suara-suara hutan seolah berhenti, memberikan ruang untuk bisikan angin yang membawa suasana tegang. Bayu, yang biasanya penuh semangat, merasa sedikit ragu untuk pertama kalinya. Namun, ia tahu bahwa mereka sudah terlalu jauh untuk mundur.

“Baiklah, Tuan,” kata Bayu perlahan. “Jika ada sesuatu yang berbahaya, mengapa tidak Anda katakan langsung kepada kami? Apa yang sebenarnya sedang terjadi di sini?”

Lelaki tua itu menarik napas dalam, seolah sedang memutuskan seberapa banyak yang bisa dia ceritakan. “Situs megalit ini adalah bagian dari sejarah kuno yang sudah terlupakan,” katanya. “Dulu, ada sebuah suku yang menjaga tempat ini. Mereka memiliki pengetahuan yang jauh melampaui zamannya. Tapi sekarang… hanya tersisa misteri dan bahaya.”

Aria mendekat, penuh rasa ingin tahu. “Dan buku ini… apakah ini milik salah satu penjaga suku itu?”

Lelaki tua itu mengangguk. “Ya. Itu adalah catatan rahasia mereka. Di dalamnya, ada petunjuk untuk menemukan apa yang mereka sembunyikan—sesuatu yang sangat kuat, yang tidak boleh jatuh ke tangan yang salah.”

“Apakah itu?” tanya Nara.

Lelaki tua itu tersenyum samar. “Sebuah artefak yang konon memiliki kekuatan untuk… mempengaruhi pikiran dan waktu. Tapi itu hanya sebuah legenda, dan banyak yang sudah mencoba mencari, tetapi tidak ada yang kembali.”

Lili bergidik mendengar penjelasan itu. “Jadi, kalau begitu… mengapa kita harus mencarinya?”

Lelaki itu menatap Lili dengan tatapan yang lembut tapi penuh arti. “Karena mungkin kalian adalah orang yang bisa menemukan kebenaran di balik legenda ini… atau mencegahnya jatuh ke tangan yang salah.”

Bayu menatap teman-temannya. “Aku pikir ini layak dicoba. Tapi kita harus tetap bersama dan sangat berhati-hati.”

Aria setuju, “Jika ada yang mencoba menghalangi kita, mereka pasti tahu sesuatu yang penting.”

“Baiklah,” kata Nara, sambil menggenggam buku catatan erat-erat. “Mari kita ke lokasi yang ditunjukkan oleh peta ini.”

Lelaki tua itu menunjuk ke arah utara, “Ikuti jalur ini. Tapi hati-hati. Jika kalian melihat tanda-tanda keberadaan mereka—orang-orang yang menghalangi kalian semalam—jangan ragu untuk kembali.”

Mereka mengangguk, dan setelah mengucapkan terima kasih kepada lelaki tua itu, mereka mulai berjalan menyusuri jalur yang ditunjukkan. Semakin jauh mereka melangkah, semakin terasa sepi dan sunyi. Suara burung dan hewan hutan perlahan menghilang, digantikan oleh bisikan angin di antara pepohonan tinggi.

Di depan mereka, tiba-tiba muncul sebuah celah sempit di antara dua batu besar yang tertutup lumut tebal. Bayu melihat peta dan mengangguk. “Ini jalannya. Ayo.”

Mereka menyusup di antara celah itu, satu per satu. Semakin masuk, udara semakin dingin, dan suasana menjadi semakin gelap. Aria memimpin dengan membawa senter, dan sesekali ia berhenti untuk memastikan tidak ada yang mengikuti.

Tiba-tiba, mereka keluar ke sebuah area terbuka yang cukup luas. Di sana, mereka melihat sebuah struktur batu besar yang hampir tertutup oleh tumbuhan liar. Di atas struktur itu, ada simbol yang sama seperti di buku catatan, sebuah lingkaran dengan tiga garis menyilang di dalamnya.

“Kita sudah sampai,” kata Nara, dengan suara nyaris berbisik. “Ini pasti lokasi yang ditunjukkan peta.”

Mereka mendekat, dan Bayu melihat ada celah kecil di dasar struktur batu itu. “Mungkin ada jalan masuk di sini,” ujarnya. Ia mencoba meraba dinding batu itu, mencari sesuatu yang mungkin bisa menjadi pegangan atau tuas.

Lili mengamati sekeliling, merasa tidak nyaman. “Aku merasa kita diawasi lagi,” katanya pelan.

Aria mengangguk. “Aku juga merasakannya. Kita harus cepat.”

Saat itu, Nara menemukan sebuah batu yang bisa digeser. Dengan usaha bersama, mereka mendorong batu itu dan terbuka jalan masuk kecil menuju ke dalam struktur.

“Ayo,” bisik Bayu, “kita harus masuk.”

Mereka masuk satu per satu ke dalam lorong sempit dan gelap. Saat mereka melangkah lebih dalam, suara pintu batu yang mereka buka tadi tiba-tiba terdengar tertutup dengan keras di belakang mereka, membuat Lili terkesiap.

“Astaga! Kita terperangkap!” seru Lili.

“Tenang,” kata Bayu, mencoba menenangkan dirinya sendiri dan yang lain. “Ini hanya berarti kita sudah semakin dekat. Kita harus terus maju.”

Di depan mereka, lorong mulai bercabang. Ada dua jalan; satu ke kiri dan satu ke kanan. Di dinding di antara kedua jalan itu, ada tulisan kuno yang tergores samar.

“Apa yang tertulis di sini?” tanya Aria, memicingkan mata mencoba membaca.

Nara meraba goresan-goresan itu. “Aku pikir ini adalah petunjuk… atau peringatan. ‘Hanya mereka yang berjalan dengan hati yang murni, akan menemukan jalan yang benar',” ia membaca pelan.

“Maksudnya apa, ya?” gumam Lili.

Bayu berpikir sejenak. “Mungkin kita harus memilih dengan hati-hati. Hati yang murni… mungkin kita harus mengikuti insting kita, bukan hanya logika.”

Aria tersenyum, “Baiklah, aku pilih kanan.”

Mereka saling berpandangan sejenak, lalu mengikuti Aria ke lorong kanan. Semakin dalam mereka masuk, semakin terasa lembab dan dingin. Tiba-tiba, lorong itu terbuka ke dalam ruangan yang lebih besar, dan di tengah ruangan ada sebuah patung besar dengan mata yang terbuat dari batu mulia yang bersinar.

“Itu dia!” seru Nara, “Patung yang ada di buku ini!”

Namun, sebelum mereka bisa mendekat, terdengar suara langkah kaki lagi. Lebih banyak, lebih berat, dan semakin mendekat.

Bayu segera menarik teman-temannya bersembunyi di balik patung. “Cepat, sembunyi!”

Dari balik kegelapan, muncul sekelompok orang dengan pakaian hitam dan penutup wajah, mata mereka tajam dan penuh tekad. Salah satu dari mereka berbisik, “Mereka pasti di sini. Cari di setiap sudut!”

Empat sekawan itu saling menatap dengan napas tertahan. Mereka tahu, petualangan ini baru saja menjadi jauh lebih berbahaya dari yang mereka duga…(Bersambung ke Empat Sekawan dan The Shadow Seekers (5): Penjaga Rahasia yang Tersembunyi)