terdiam di balik patung batu, mendengarkan dengan hati-hati saat sekelompok orang berpakaian hitam mulai menyisir ruangan. Napas mereka tertahan, dan mata mereka saling berpandangan, mencoba mencari cara untuk keluar dari situasi ini.

“Diam dan jangan buat suara apa pun,” bisik Bayu nyaris tak terdengar. Mereka semua mengangguk, berusaha tidak bergerak, bahkan bernapas lebih pelan.

Para pencari berpakaian hitam terus berputar-putar di sekitar ruangan. Mereka bergerak dengan gesit tapi tetap teratur, jelas bukan orang biasa. Salah seorang dari mereka tampak memegang peta kecil, seolah sedang mencari sesuatu yang spesifik.

“Aku melihat mereka di sini!” seru salah satu dari mereka, sambil menunjuk ke arah patung tempat empat sekawan bersembunyi.

Detik berikutnya, Bayu menyadari mereka tak bisa lagi menunggu lebih lama. “Lari!” ia berbisik tegas. Mereka berlari keluar dari tempat persembunyian mereka secepat mungkin, menuju lorong lain yang lebih sempit di ujung ruangan.

Lili tergelincir sedikit, tapi Aria dengan cepat menariknya berdiri. Mereka semua berlari menyusuri lorong itu, mendengar langkah kaki para pencari yang semakin dekat di belakang.

“Ke kiri!” seru Aria saat mereka mencapai percabangan berikutnya. Mereka berbelok tajam, dan tiba di sebuah ruangan yang lebih kecil dengan dinding yang penuh dengan ukiran kuno. Di tengah ruangan, ada sebuah altar kecil dengan kotak kayu tua di atasnya.

“Itu pasti ada hubungannya!” kata Nara dengan napas terengah-engah. “Kita harus membukanya!”

Bayu cepat-cepat mendekat dan mencoba membuka kotak kayu itu, namun terkunci. “Butuh kunci lagi,” desisnya. Mereka dengan panik memeriksa dinding, lantai, dan setiap sudut ruangan.

Lili yang matanya jeli melihat sebuah batu kecil di sudut ruangan yang tampak berbeda. “Lihat, di sana!” teriaknya. “Ada sesuatu di balik batu ini!”

Mereka semua segera mengangkat batu itu, dan di bawahnya, terdapat sebuah kunci perunggu kecil yang tampak tua. “Ini dia!” seru Bayu, memasukkan kunci itu ke dalam kotak dan memutarnya. Klik! Kotak itu terbuka perlahan.

Di dalamnya, mereka menemukan gulungan kuno yang sudah mulai rapuh. Aria dengan hati-hati membukanya dan mulai membaca. “Ini seperti… peta lain. Tapi lebih rinci dari yang sebelumnya.”

“Cepat, kita harus keluar dari sini,” bisik Nara. “Mereka masih mengejar kita!”

Namun, sebelum mereka bisa bergerak lebih jauh, para pencari berpakaian hitam itu muncul di pintu masuk ruangan. Pemimpin mereka, seorang pria dengan sorban hitam, menatap tajam ke arah mereka.

“Serahkan peta itu,” perintahnya dengan suara dingin. “Kalian tidak tahu apa yang kalian pegang.”

Bayu berdiri di depan teman-temannya, melindungi mereka. “Kami tidak akan menyerah begitu saja. Apa pun yang kalian cari, jelas kalian punya niat buruk!”

Lelaki itu tertawa tipis. “Kalian anak-anak yang berani. Tapi tempat ini bukan untuk permainan. Ini adalah situs bersejarah yang harus dilindungi… dari orang-orang seperti kalian.”

“Tapi kami hanya mencari tahu kebenaran!” jawab Aria dengan lantang. “Kalianlah yang tampaknya menyembunyikan sesuatu.”

Sebelum lelaki itu bisa menjawab, suara keras bergema di seluruh ruangan, seperti gemuruh tanah longsor. Dinding ruangan itu bergetar, dan batu-batu kecil mulai jatuh dari langit-langit.

“Gempa!” teriak Lili, panik. “Kita harus keluar dari sini!”

Lelaki itu tampak terkejut, dan sejenak ketegangan melonggar. “Ini belum pernah terjadi sebelumnya,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri. “Cepat! Keluar dari sini!”

Empat sekawan itu memanfaatkan kebingungan itu untuk melarikan diri kembali melalui lorong yang mereka masuki. Mereka berlari secepat mungkin, mendengar suara langkah kaki di belakang mereka.

Di depan, mereka melihat cahaya samar yang menandakan pintu keluar. “Ayo, kita hampir sampai!” seru Bayu.

Saat mereka mendekati pintu keluar, mereka merasakan tanah di bawah mereka bergetar lebih keras. Mereka berhasil keluar dari lorong tepat ketika pintu batu besar itu menutup dengan suara keras di belakang mereka, mengurung para pengejar di dalam.

Bayu, Aria, Nara, dan Lili terengah-engah di luar, berdiri di bawah langit biru yang cerah. Mereka menatap satu sama lain, wajah mereka penuh kelegaan bercampur ketegangan.

“Kita berhasil keluar,” kata Nara dengan napas terputus-putus. “Tapi… kita harus tahu lebih banyak tentang peta ini.”

Aria memegang perkamen kuno itu dengan hati-hati. “Kita harus mencari tahu apa yang sebenarnya tersembunyi di sini… dan mengapa begitu banyak orang yang menginginkannya.”

Bayu mengangguk setuju. “Ini baru permulaan, teman-teman. Kita harus melanjutkan petualangan ini, menemukan jawaban, dan mungkin… menemukan rahasia yang tersembunyi selama ribuan tahun di .”

Mereka semua tersenyum, merasakan adrenalin yang masih mengalir di dalam darah mereka. Mereka tahu bahwa apa pun yang terjadi, mereka akan terus maju bersama.

(Bersambung ke Empat Sekawan dan The Shadow Seekers (6): Jejak Menuju Rahasia Terbesar)