Bayu menatap lelaki tua itu dengan penuh pertanyaan. “Apa sebenarnya yang bisa dilakukan benda ini?” tanyanya. “Dan mengapa begitu penting?”

Lelaki tua itu menatap mereka dengan tatapan bijaksana. “Ini bukan sekadar artefak kuno, anak-anak. Ini adalah kunci yang bisa membuka pintu ke ruang pengetahuan yang terlupakan selama ribuan tahun. Ruang yang penuh dengan rahasia dunia yang telah hilang. Namun, pengetahuan itu bisa membawa kebijaksanaan atau kehancuran, tergantung siapa yang menggunakannya.”

Aria melangkah maju, matanya penuh tekad. “Kami tidak ingin benda ini jatuh ke tangan yang salah. Kami hanya ingin menemukan kebenaran, untuk memahami sejarah yang tersembunyi di tempat ini dan melindunginya dari mereka yang berniat jahat.”

Lelaki tua itu mengangguk perlahan. “Aku bisa merasakan ketulusan kalian. Tapi kalian harus tahu, ada banyak yang menginginkan benda ini, dan mereka tidak akan berhenti sampai mereka mendapatkannya.”

“Jadi, apa yang harus kita lakukan?” tanya Lili dengan nada bingung. “Menyimpan benda ini, atau mengembalikannya ke tempat asalnya?”

Nara, yang biasanya ceria dan santai, tampak serius. “Aku rasa kita harus memutuskan berdasarkan hati nurani kita. Kita tahu benda ini bisa berbahaya jika digunakan dengan salah, tapi juga bisa membawa kebenaran yang penting. Mungkin, kita perlu mencari seseorang yang tahu lebih banyak, seseorang yang bisa kita percayai.”

Bayu mengangguk setuju. “Benar. Kita tidak bisa menyimpan ini sendirian. Tapi kita juga tidak bisa menyerahkannya ke sembarang orang. Bagaimana jika kita mencari bantuan dari seorang ahli sejarah atau ? Seseorang yang bisa menjaga benda ini dengan aman.”

Aria tampak berpikir keras. “Ada seorang profesor di kota yang sering menulis tentang situs megalit di daerah ini. Namanya . Aku pernah membaca bukunya, dan dia tampaknya sangat berpengetahuan tentang budaya kuno dan situs bersejarah. Mungkin dia bisa membantu kita.”

Lelaki tua itu mendengarkan dengan seksama, kemudian mengangguk setuju. “Profesor Darmawan adalah pilihan yang baik. Dia adalah seorang yang bijaksana dan punya integritas. Jika kalian memutuskan untuk pergi kepadanya, berhati-hatilah. Ada banyak yang mengintai, menunggu kesempatan untuk merebut benda itu dari kalian.”

Bayu menutup peti itu dengan hati-hati dan memasukkannya ke dalam ranselnya. “Baiklah, kita sudah memutuskan. Kita akan menemui Profesor Darmawan dan menyerahkan ini kepadanya.”

Lili, yang wajahnya tampak agak cemas, bertanya, “Tapi bagaimana kita keluar dari sini tanpa tertangkap oleh orang-orang berpakaian hitam itu?”

Lelaki tua itu tersenyum kecil. “Ada jalan keluar rahasia di balik altar ini,” katanya sambil menunjuk ke dinding di belakang altar. “Jalan itu akan membawa kalian ke luar hutan dengan cepat, tapi kalian harus tetap waspada. Mereka mungkin masih mencari kalian.”

mengikuti petunjuk lelaki tua itu dan menemukan sebuah pintu tersembunyi di balik altar. Pintu itu mengarah ke sebuah terowongan gelap yang panjang. Mereka menyalakan senter mereka dan mulai berjalan dengan hati-hati.

Lorong itu terasa sangat panjang dan sempit. Bayu memimpin, diikuti oleh Aria, Nara, dan Lili. Mereka melangkah dengan hati-hati, mendengarkan setiap suara di sekitar mereka. Setelah beberapa saat, mereka mulai melihat cahaya di ujung terowongan.

“Aku pikir kita hampir sampai,” kata Nara dengan nada penuh harapan.

Ketika mereka keluar dari terowongan, mereka menemukan diri mereka berada di tepi hutan, dengan pemandangan desa di kejauhan. Matahari hampir tenggelam, dan langit berwarna jingga kemerahan.

“Kita berhasil!” seru Lili dengan lega. “Sekarang, kita hanya perlu mencapai kota dan menemukan Profesor Darmawan.”

Namun, ketika mereka mulai berjalan ke arah desa, mereka mendengar suara derap kaki dari belakang. Aria berbalik dan melihat sekilas beberapa orang berpakaian hitam di kejauhan, berlari mendekati mereka.

“Mereka menemukan kita!” teriak Aria. “Cepat, kita harus berlari!”

Empat sekawan berlari sekuat tenaga menuruni bukit, menuju desa di bawah. Napas mereka terengah-engah, tapi mereka tidak berhenti. Mereka tahu bahwa mereka harus mencapai desa dan mencari bantuan secepat mungkin.

Ketika mereka sampai di pinggir desa, mereka melihat sebuah rumah besar dengan tanda “Pusat Penelitian Sejarah” di depan. Bayu dengan cepat mengetuk pintu, berharap ada seseorang di dalam.

Pintu terbuka perlahan, dan seorang pria paruh baya dengan wajah ramah muncul. “Ada apa ini, anak-anak?” tanyanya.

“Kami butuh bantuan,” kata Bayu dengan terengah-engah. “Kami harus bertemu dengan Profesor Darmawan. Kami membawa sesuatu yang sangat penting.”

Pria itu tersenyum dan mengangguk. “Kalian beruntung. Aku Profesor Darmawan. Masuklah, cepat, sebelum ada yang melihat.”

Empat sekawan masuk ke dalam rumah, dan pintu tertutup rapat di belakang mereka. Mereka tahu petualangan mereka belum berakhir, tapi mereka merasa sedikit lega karena sudah menemukan orang yang bisa mereka percayai.

“Sekarang,” kata Profesor Darmawan dengan nada serius, “ceritakan semuanya dari awal. Dan kita akan lihat apa yang bisa kita lakukan dengan rahasia besar ini.”

Bersambung ke Empat Sekawan dan The Shadow Seekers (7): Rahasia Terungkap dan Bahaya yang Mengintai.