Di dalam ruang bawah tanah yang gelap, berusaha mendengarkan setiap suara dari atas. Suara-suara berisik semakin keras, dan teriakan marah memenuhi udara. Aria meremas tangan Lili, mencoba menenangkan temannya yang mulai gemetar.

“Kita harus keluar dari sini,” bisik Bayu. “Kalau tidak, mereka akan menemukan kita.”

Nara mengangguk cepat. “Ya, tapi ke mana kita bisa pergi? Jalan satu-satunya keluar adalah melalui pintu rahasia ini, dan mereka sudah ada di atas.”

Aria menoleh ke sekitar ruang bawah tanah itu, mencari sesuatu, apa pun, yang bisa memberi mereka petunjuk. Matanya tertumbuk pada sebuah tangga tua di sudut ruangan. “Lihat!” serunya pelan, menunjuk tangga kayu yang tampaknya menuju ke lantai atas.

Bayu mengangguk. “Mungkin itu adalah jalan keluar lain, atau setidaknya akan membawa kita ke ruangan lain di rumah ini.”

“Kita harus mencobanya,” kata Aria tegas. “Kalau kita tetap di sini, kita akan tertangkap.”

Dengan hati-hati, mereka mulai menaiki tangga kayu yang berderak di bawah berat tubuh mereka. Setiap langkah terdengar seperti jeritan kecil di keheningan, membuat mereka semua menahan napas. Di atas, mereka menemukan pintu kecil yang tampaknya tertutup rapat.

Bayu mendorong pintu itu perlahan, dan mereka masuk ke dalam sebuah kamar kosong yang dipenuhi dengan kotak-kotak berdebu dan buku-buku tua. Cahaya matahari remang-remang masuk melalui jendela kecil, memberikan sedikit penerangan.

“Kita di ruang penyimpanan,” kata Lili sambil melihat sekeliling. “Tapi bagaimana kita keluar dari sini?”

Aria mendekati jendela dan mengintip ke luar. “Ini menghadap ke halaman belakang,” bisiknya. “Jika kita bisa keluar dari sini, kita bisa lari ke hutan di belakang rumah.”

“Baiklah,” kata Bayu, “Kita harus cepat.”

Nara mencoba membuka jendela itu, tetapi ternyata terkunci. Ia mencoba mendorong dengan keras, namun tidak berhasil. “Jendela ini tidak akan terbuka,” katanya putus asa.

“Aku punya ide,” bisik Aria. Dia meraih salah satu buku tebal dari rak dan memukul kunci jendela dengan sudut buku itu. Setelah beberapa pukulan, jendela itu terbuka dengan bunyi klik pelan.

Mereka segera memanjat keluar satu per satu, turun dengan hati-hati ke tanah. Begitu mereka semua berada di luar, Bayu menoleh ke arah rumah. “Kita harus segera ke hutan,” katanya, “sebelum mereka menyadari kita hilang.”

Mereka berlari menuju hutan, menyelinap di antara pepohonan yang lebat. Bayangan mereka memanjang di bawah cahaya matahari yang mulai meredup. Jantung mereka berdegup kencang, telinga mereka menajamkan pendengaran untuk setiap suara di sekitarnya.

Tiba-tiba, mereka mendengar suara dari belakang. Langkah kaki yang berat dan terdengar suara orang berteriak. “Di sana mereka! Jangan biarkan mereka kabur!”

!” seru Lili dengan napas terengah-engah. “Mereka menemukan kita!”

Mereka mempercepat langkah, berlari sekuat tenaga di antara pepohonan, melompati akar-akar pohon yang menjalar di tanah. Bayu memimpin di depan, dengan Aria dan Lili tepat di belakangnya, sementara Nara berusaha menjaga jarak antara mereka dan pengejarnya.

“Kita tidak bisa terus seperti ini,” teriak Nara. “Kita harus menemukan tempat untuk bersembunyi atau mengecoh mereka.”

Aria menoleh ke kiri dan melihat sebuah celah di antara dua batu besar. “Ke sini!” serunya, menunjuk ke arah celah itu. Mereka semua segera berbelok dan menyelinap di antara batu-batu, mencoba menyembunyikan jejak mereka.

Namun, mereka mendengar suara langkah kaki semakin mendekat. Mereka menahan napas, bersembunyi di balik batu sambil berharap bayangan para pengejar itu melewati mereka. Namun, suara langkah kaki itu berhenti, dan terdengar seseorang berbicara dengan suara rendah.

“Apakah kalian melihat mereka?” tanya salah satu pengejar.

“Tidak, tapi mereka pasti di sekitar sini. Jangan biarkan mereka lolos!”

Empat Sekawan menahan napas, berharap pengejar itu tidak menemukan tempat persembunyian mereka. Lili merasakan jantungnya berdetak begitu keras, ia khawatir para pengejar bisa mendengarnya.

Tiba-tiba, terdengar suara gemerisik dari semak-semak di dekat mereka. Bayu menatap Aria dengan panik, berharap itu bukan pertanda bahwa mereka telah ditemukan. Tapi kemudian, dari dalam semak-semak itu, keluar seekor kelinci kecil, melompat keluar dan berlari menjauh.

Pengejar tampak bingung sejenak, lalu mulai berjalan lagi ke arah yang salah, menjauh dari tempat mereka bersembunyi.

Empat Sekawan menghela napas lega, dan mereka tetap diam sampai suara langkah kaki itu benar-benar hilang. “Itu terlalu dekat,” bisik Nara dengan suara bergetar.

“Kita harus terus bergerak,” kata Bayu dengan tenang. “Kita belum aman.”

Mereka melanjutkan perjalanan mereka ke dalam hutan, kali ini lebih hati-hati. Mereka tahu bahwa para pengejar masih ada di sekitar, dan mereka harus menemukan cara untuk mencapai tempat yang lebih aman.

Setelah berjalan beberapa waktu, mereka tiba di tepi sungai kecil yang mengalir deras. “Kita bisa mengikuti sungai ini,” saran Aria. “Airnya akan membantu menghilangkan jejak kita.”

Empat Sekawan mengikuti sungai itu, berjalan menyusuri tepian yang licin. Mereka merasa dingin dan lelah, tapi tekad mereka tetap kuat. Mereka tahu bahwa mereka sedang menghadapi bahaya yang besar, tetapi mereka juga tahu bahwa mereka tidak bisa menyerah.

Di kejauhan, mereka bisa melihat gunung menjulang, bayangannya terlihat seperti raksasa di bawah cahaya senja. Mereka sadar bahwa petualangan mereka belum berakhir. Di depan, mungkin ada lebih banyak rahasia yang harus diungkapkan — dan lebih banyak bahaya yang harus dihadapi.

“Terus berjalan,” kata Bayu, “Kita akan menemukan jalan keluarnya. Kita tidak sendirian dalam petualangan ini.”

Bersambung ke Empat Sekawan dan The Shadow Seekers (10): Jejak Menuju Kebenaran